ISSN 2477-1686

Vol.3. No.9, September 2017

 

Sudahkah Anda Memaafkan Diri Sendiri?

Pradipta Christy Pratiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Memaafkan Diri Sendiri

Selama kita hidup, pasti kita pernah melakukan suatu kesalahan yang disengaja maupun tidak. Respon terhadap kesalahan yang kita lakukan sangat beragam, misalnya kesal, marah, merasa bersalah, menyesal maupun benci terhadap diri sendiri. Meskipun sangat penting untuk memaafkan orang lain, (Compton & Hoffman, 2013) kapasitas untuk mampu memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) memiliki posisi yang sangat krusial terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Memaafkan merupakan kebutuhan demi keberlanjutan eksistensi diri. Dengan memaafkan, seseorang dapat memperbaiki relasi dan membangun kembali dukungan sosialnya serta meregulasi emosi negatif yang dimiliki (Mc Cullough, 2000; Emmons, 2005; dalam Compton & Hoffman, 2013). Memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) adalah proses untuk melepas segala bentuk kebencian dan rasa sakit hati terhadap kesalahan atau pelanggaran diri sendiri.

Unforgiveness didefinisikan oleh Worthington dan rekan-rekannya (dalam Worthington, 2005) sebagai kombinasi dari emosi-emosi negatif yang tertunda. Emosi-emosi tersebut terdiri dari kebencian, kepahitan, rasa bermusuhan, kedengkian, rasa marah dan rasa takut terhadap stresor.  Ketidakmampuan untuk memaafkan ini dinilai sebagai respon stres yang mengandung potensi adanya konsekuensi buruk terhadap kesehatan seseorang. Memaafkan dapat dilihat sebagai cara untuk mengatasi unforgiveness. Memaafkan tidak hanya dipandang sebagai kondisi berkurangnya unforgiveness yang tampak dari pikiran-pikiran, emosi-emosi, motivasi, dan perilaku terhadap penyebabnya, melainkan juga bertambahnya emosi dan perspektif positif seperti empati, harapan atau belas kasihan.

Pada literatur yang lain (Durham, 2000) menyebutkan bahwa memaafkan merupakan proses awal menimbang ulang suatu perspektif yang lebih positif. Memaafkan dipandang sebagai proses intrinsik dan bagian positif dari kedukaan. Artinya, apabila kita sedang merujuk pada memaafkan diri sendiri, seseorang mengalami proses berkurangnya emosi negatif dan bertambahnya emosi serta perspektif positif terhadap diri sendiri. Ketika kita merasa bahwa diri kita melakukan suatu kesalahan, kemudian kita bersedia untuk berproses menimbang ulang suatu perspektif mengenai diri kita. Ellis (Macaskill, 2012) menyebutkan bahwa seseorang yang sedang bergumul dengan self-forgiveness biasanya khawatir tentang tanggapan dan penilaian orang lain terhadap kesalahannya. Salah satu contoh pikiran otomatis yang dapat dibangun adalah “saya telah berbuat kesalahan dan saya mampu memperbaikinya”. Hal tersebut akan mendatangkan pengharapan bahwa seseorang akan memiliki pandangan yang lebih positif pada dirinya. Tentunya perlu disertai dengan keterampilan atau strategi yang tepat agar pikiran tersebut dapat ditransfer menjadi perilaku nyata yang realistis.

Proses dari Memaafkan Diri Sendiri

Untuk menjawab pertanyaan apakah kita sudah memaafkan diri sendiri, kita bisa mulai dengan mengenali proses memaafkan. Ada empat fase yang menandai adanya proses memaafkan yang dialami oleh individu, meliputi (Compton & Hoffman, 2013):

1.    Uncovering phase

Fase ketika seseorang mengeksplor  dan merasakan marah, benci, atau kekesalan yang dapat berdampak negatif terhadap kehidupannya, baik kesehatan fisik, kondisi emosi, relasi dengan orang lain dan produktivitas kerja. Seseorang cenderung menghindari penyelesaian terhadap rasa marah atau penderitaan yang dialami.

2.    Decision phase

Fase dimana seseorang membuat pilihan untuk mencoba dan berkomitmen untuk memaafkan. Seseorang menyadari bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin untuk mencoba memaafkan meskipun terkadang sulit secara emosional.

3.    Work phase

Pada fase ini, seseorang mencoba untuk memaafkan dengan memikirkan kembali kejadian, menerima rasa sakit, dan memahami alasan dirinya melakukan sebuah kesalahan dengan penuh empati.

4.    Deppening phase

Fase terakhir ini, ditandai dengan kondisi dimana individu mencari makna secara mendalam dari rasa sakit yang dialami. Pemahaman bahwa orang lain juga mungkin mengalami kesalahan yang sama sehingga ia tidak merasa sendirian.

Melalui penjelasan di atas, kita dapat merenungkan dan mengevaluasi diri kita sendiri pada fase manakah kita saat ini? Apakah kita mengalami fase pertama berulang kali tanpa bisa berlanjut pada fase selanjutnya? Atau sudahkah kita memutuskan untuk mengakhiri kebencian kita terhadap diri sendiri dan memperoleh makna dari peristiwa tidak menyenangkan yang telah terjadi.

Memaafkan dan Kesehatan

Ketidakmampuan memaafkan dapat menyebabkan dampak terhadap kesehatan, baik secara fisik, psikologis, perilaku dan sosial. Penelitian Seybold, dkk. (dalam Worthington, 2005) menemukan bukti-bukti bahwa tekanan darah orang-orang yang tidak mampu memaafkan memiliki tekanan darah yang sama dengan orang-orang yang mengalami stres. Ketidakmampuan memaafkan mengandung komponen emosi yang secara tidak langsung atau langsung mengarahkan seseorang pada isolasi sosial, yang berkaitan dengan resiko kesehatan (Cohen, Gottlieb & Underwood, dalam Worthington, 2005). Implikasi memaafkan diri sendiri lebih sulit dilakukan dibanding memaafkan orang lain, menyebabkan potensi distres dan dampak yang lebih buruk pada kesehatan (Macaskill, 2012) dan menurunnya kepuasan hidup. Studi yang dilakukan oleh Macaskill (2012) menghasilkan data yang signifikan bahwa level ketidakmampuan memaafkan diri sendiri (self-unforgiveness) yang tinggi berkorelasi dengan kesehatan mental dan kepuasan hidup yang rendah.

Referensi:

Compton, W. C. & Hoffman, E. (2013). Positive psychology: The science of happiness and flourishing (2th Ed.). Wadsworth: Cengage Learning.

Durham, M. S. (2000). The therapist’s encounters with reverenge and forgiveness. London: Jessica Kingsley Publishers.