ISSN 2477-1686

Vol.3. No.9, September 2017

 

Pengorbanan Bagian Tubuh dalam Ritual Adat di Indonesia 

Gani Dharma & Zahrah Nurussyifa

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas YARSI

 

Setiap suku memiliki adat-istiadat yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakatnya. Adat-istiadat biasanya berbentuk dalil dan ajaran mengenai bagaimana sesorang harus bertingkah laku dalam masyarakat, agar terhindar dari marabahaya atau kesialan yang menimpa suku mereka. Secara definisi adat-istiadat adalah aturan aktivitas perilaku, tindakan satu individu terhadap individu lain yang kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial (Istianah, 2012).

Tentunya adat-istiadat setiap suku di Indonesia memiliki perbedaan satu sama lain, dimana untuk memahami keberagaman ini kita harus menggunakan pendekatan etik dan emik berdasarkan perspektif psikologi lintas budaya. Penulis berusaha memahami perbedaan adat-istiadat yang dimiliki oleh suku Naulu dan Dayak yang ada di Indonesia. Pendekatan etik memandang bahwa suatu perilaku itu bersifat universal yang di mana perilaku tersebut dapat dikaji atau diamati terhadap budaya lainnya, sedangkan pendekatan emik memandang terdapat perilaku khusus terkait suatu budaya yang hanya dapat ditemukan dalam budaya tersebut (Ilensanmi, 2009).

Ritual di Suku Naulu dan Dayak           

Pengorbanan manusia dalam ritual adat merupakan satu keunikan di suku Naulu, Pulau Seram dan suku Dayak, Kalimantan. Kedua suku tersebut memerlukan pengorbanan manusia yakni ritual penyerahan kepala manusia. Jika ditinjau dengan suku lain yang berada di Indonesia, tidak banyak yang memiliki ritual adat yang serupa, maka ritual penyerahan kepala manusia merupakan suatu emik yang ada disuku Naulu dan Dayak. Meskipun memiliki kesamaan ritual antara suku Naulu dan Dayak tetapi motif keduanya berbeda, dimana Suku Naulu akan memerlukan kepala manusia jika adanya perkawinan di dalam suku tersebut, persembahan untuk rumah adat, dan menandakan laki-laki yang sudah beranjak dewasa (Utami 2015), sedangkan suku Dayak akan memerlukan kepala manusia jika terjadinya perang atau terancamnnya eksistensi mereka, ritual mereka biasanya disebut sebagai kayau atau ngayau (Putra, 2012). Pengorbanan lain berupa bagian tubuh juga terjadi pada suku lain sebagai bentuk pengorbanan untuk penegasan kebersamaan satu suku, yakni ritual potong jari di Papua sebagai ekspresi duka cita.

Simbol Duka Cita

Hidup diibaratkan seperti roda yang berputar. Pada perputaran tersebut terjadi banyak fase-fase suka dan duka di dalam kehidupan, dan kehilangan merupakan salah satu fase yang pasti akan terjadi dalam kehidupan manusia. Menurut Potter dan Perry (2005), kehilangan adalah suatu keadaan di mana individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian maupun secara keseluruhan. Potter dan Perry (2005) juga menyatakan bahwa, kehilangan dapat dikategorikan menjadi lima bagian dan salah satunya adalah kehilangan kerabat dekat. Pada dasarnya, kehilangan atas kematian kerabat dekat dapat menjadikan duka yang teramat besar bagi orang-orang yang mengalaminya. Arti berduka itu sendiri adalah reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal (Suliswati, 2005). Umumnya, orang-orang yang berduka cita akan menampakan ekspresi emosi mereka berupa menangis. Begitupun pada masyarakat Indonesia. Secara etik, ketika mereka tengah berduka atas kehilangan keluarga atau orang yang dicintai, mereka akan menampakan emosi sedihnya berupa menangis dan meratapi kesedihan, sesuai dengan konteks yang berlaku di lingkungannya. Lain halnya pada masyarakat Papua khususnya pada masyarakat suku Asmat dan masyarakat pegunungan tengah Papua.

Masyarakat suku Asmat akan menangis selama berhari-hari untuk menunjukan kesedihan atas kehilangan kerabatnya (Apriyono, 2015). Berbeda dengan masyarakat pegunungan tengah Papua. Selain menangis, masyarakat pegunungan tengah Papua melambangkan kesedihan dan duka cita dengan cara memotong jari-jari mereka. Bila ada kerabat dekat atau keluarga yang meninggal, pemotongan jari pada masyarakat pegunungan tengah Papua wajib untuk dilakukan. Hal tersebut melambangkan rasa sakit dan pedih. Jari juga melambangkan simbol kerukunan, kebersamaan dan kekuatan sebuah keluarga, apabila salah satu anggota kerabat dekat hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan kekuatan. Kebersamaan dan keharmonisan pada masyarakat pegunungan tengah Papua sangatlah penting, apabila rasa sakit dan luka di jari telah sembuh maka, luka hati atas kematian kerabat pun juga berangsur-angsur sembuh. Oleh karena itulah yang menyebabkan mereka berbeda dalam mengekspresikan kesedihan akibat ditinggalkan orang terdekat.

Referensi

Apriyono, A. S., &Pranita, M. S. (2015). Kebudayaan Suku Asmat. Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta. Diunduh dari http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_4275151126092237.pdf.

Istianah, Anif. (2012). Pelaksanaan Upacara Adat 1 Sura Di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah (Thesis tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Ilensanmi, O. O. (2009). What is Cross-Cultural Research. International Journal of Psychological Studies, 2(1), 82-96.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.

Putra, R. M. S. (2012). Makna di balik teks dayak sebagai etnis headhunter. Artikel ilmiah, Universitas Multimedia Nusantara, ISSN: 2087-8850.

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Utami, R. W. (2015). Pengembangan Civic Culture Melalui Pendidikan Formal Dan Budaya Lokal Masyarakat Suku Nuaulu (Skripsi tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Depok.

________. (2016). Kebudayaan Indonesia. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1065/tradisi-potong-jari.