ISSN 2477-1686
Vol.3. No.8, Agustus 2017
Keunikan Peran Gender Suku Yah’ray dan Minangkabau
Anshari Al Ghaniyy & Iman Dwi Almunandar
Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Indonesia merupakan negara dengan banyak pulau dan beragam suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing dari suku tersebut memiliki kebudayaan yang beragam pula, termasuk di dalamnya adalah konsep tentang gender yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat. Berdasarkan sudut pandang etics, sistem patrilinial cenderung lebih dominan dibandingkan dengan sistem matrilinial – yang juga berlaku di beberapa daerah di Indonesia (Idrus, 2011). Sistem ini menunjukkan bahwa posisi dengan jenis kelamin tertentu (dalam hal ini laki-laki) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya yaitu, perempuan. Berdasarkan pernyataan tersebut, individu dengan jenis kelamin laki-laki seharusnya memiliki peran gender yang sesuai, begitu juga dengan perempuan. Sarwono (2015) menjelaskan bahwa gender adalah perilaku atau pola aktivitas yang dianggap layak menurut masyarakat atau budaya. Sehingga di Indonesia, dapat diartikan bahwa laki-laki memiliki peranan untuk mencari nafkah, dan perempuan untuk mengasuh anak.
Konsep Gender Suku Yah’ray
Pembagian peran gender antara laki-laki dan perempuan tersebut ternyata tidak berlaku bagi masyarakat suku Yah’ray di Irian. Pada masyarakat suku Yah’ray, peran laki-laki dan perempuan justru setara. Perbedaannya adalah ada pada cara pelaksanaannya. Seperti contoh, menangkap ikan. Laki-laki dan perempuan sama sama menangkap ikan, namun yang memasang jerat adalah kaum laki-laki. Bahkan terkait dengan pekerjaan yang identik laki-laki seperti membangun rumah, membuat perahu, berkelahi, sampai mengayau / memotong kepala lawan juga dilakukan oleh keduanya (Booelars, 1986). Dalam pandangan emics, suku Yah’ray ini selalu berjuang saling memenangkan suatu persaingan, termasuk dalam soal gender (Booelars, 1986). Mereka beranggapan bahwa kemenangan adalah simbol dari keperkasaan dan kebanggaan. Bahkan untuk menunjukkan siapa yang paling kuat, tidak jarang terjadi ketegangan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Menjadi ‘panas’, marah, kemudian kejam merupakan cita-cita yang dimiliki kedua kaum tersebut (Booelars, 1986). Pada hal ini, kaum laki-laki tetap beranggapan bahwa kaum perempuan melakukan hal tersebut tanpa banyak pengetahuan, bahkan cenderung main-main. Berbeda dengan laki-laki yang selalu bersungguh-sungguh.
Konsep Gender Suku Minangkabau
Pandangan berbeda mengenai peran gender pun ditemui pada budaya Minangkabau yang mana mereka menganut sistem matrilinial (Wicaksono, 2011). Fatimah (2012) dalam jurnalnya juga mengungkapkan bahwa masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di dunia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Pada sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinal, perempuan mendapatkan posisi yang berbeda jika dibanding dengan perempuan dalam masyarakat patrilineal. Pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilinial, memposisikan perempuan sebagai sosok yang menduduki posisi sentral dan memiliki peran utama dalam prakarsa dan pengambilan keputusan. Sistem matrinial pada masyarakat Minangkabau ini juga menempatkan perempuan tidak hanya dalam hal menyangkut garis keturunan, melainkan juga dalam dalam aspek mencari nafkah (Wicaksono, 2011).
Referensi:
Booelars, J. (1986). Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia.
Idrus, M. (2011). Konstruksi gender dalam budaya. Diunduh dari http://kajian.uii.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/GENDER.pdf
Fatimah, S. (2012). Gender dalam komunitas masyarakat minangkabau; teori, praktek dan ruang lingkup kajian. Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Diunduh dari www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/download/53/26
Sarwono, S. W. (2015). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
Wicaksono, R. (2011). Perempuan bekerja (Sebuah dilema perubahan zaman). Diunduh dari http://www.kompasiana.com/renaldi.wicaksono/perempuan-bekerja-sebuah-dilema-perubahan-zaman_5500b32f8133111918fa7c0b