ISSN 2477-1686

Vol.3. No.6, Juni 2017

Perubahan Cara Belajar: Intervensi Perilaku Belajar Mahasiswa Baru

Eko A Meinarno, PIC Modul-Buku K-PIN

Desain Intervensi Pengembangan Karakter

Pernahkah terpikir betapa sia-sianya nyawa yang melayang hanya gara-gara plonco di masa awal masuk kampus? Atau perkelahian semesteran antar fakultas? Atau munculnya senioritas dan junioritas yang berlebihan? Tak perlu dipaparkan datanya. Namun yang pasti semua itu berujung pada desain penerimaan mahasiswa yang berorientasi “anak baru, anak lama”. Apakah ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa dan bahkan meningkatkan gairah belajar mahasiswa?

Dari sekian banyak jawaban, mungkin artikel ini dapat menggugah. Sebagaimana artikel penulis terdahulu di buletin ini dengan judul Intervensi Sosial untuk Perguruan Tinggi (Meinarno, 2017) jawaban untuk perubahan melalui intervensi pengembangan karakter membutuhkan kekuatan tekad para pimpinan fakultas/universitas. Mengapa? Hal ini terkait dengan pengambilan kebijakan untuk peserta didiknya. Berinvestasi di hari ini untuk mendapat keuntungan di masa depan. Mendesain intervensi pengembangan karakter mahasiswa setidaknya ada dua fase penting. Pertama tentang kesiapan fakultas/universitas. Kedua adalah bagaimana mahasiswa diperlakukan.

Fase Pertama: Kesiapan Fakultas/ Universitas

Untuk fase pertama, di dalamnya adalah kebijakan dan pengadaan alat bantu. Dosen yang akan agen intervensi harus disiapkan lebih dulu. Para dosen dilatih dengan sengaja. Demikian pula dengan para senior. Para dosen diberi pelatihan 3-6 hari untuk kembali ingat hakikat mahasiswa, cara melihat mahasiswa, dan upaya untuk melakukan perubahan diri maupun saat di kelas.

Para agen intervensi ini dibekali pengetahuan khususnya sudut pandang baru dalam melihat mahasiswa. Misalnya dalam mendesain pelatihan untuk dosen atau mahasiswa senior yang diproyeksikan menjadi mentor atau fasilitator pelatihan, mereka dilatih paham tentang apa yang dimaknai belajar berorientasi mahasiswa (Takwin, Meinarno, Salim, Kurniawati, Diponegoro, Prasetyawati, 2011). Mengganti sudut pandang orientasi belajar dari dosen ke mahasiswa bukan perkara mudah. Lebih mudah mengajar saat mahasiswa yang mengikuti dosen daripada memantau bagaimana mahasiswa mencari ilmu. Bukan lagi mengisi ember air, tapi mencari mata air yang tak kunjung habis. Dibutuhkan kelapangan dada dan keterbukaan pikiran bagi dosen (khususnya) agar menerima bahwa mahasiswa mampu menggali pengetahuan yang dosen minta.

Bahan perkuliahan dan kelengkapannya jangan dilupakan. Hal sederhana misalnya kesiapan mesin foto kopi, komputer yang bersih dari virus, material ajar (buku, jurnal dan lain-lain) yang memang HARUS disediakan.

Fase kedua: Perlakuan Terhadap Mahasiswa

Memasuki fase kedua, perlakuan kepada mahasiswa. Kapan bagian mahasiswa didesain? Saat masa perkenalan (maper) adalah hal yang paling tepat. Masa perkenalan dapat diarahkan dengan hal-hal lain yang jelas mengenalkan mahasiswa dengan dunia barunya. Bukan memperpanjang “masa kanak-kanaknya”, dengan plonco atau bimbingan ala purba lainnya (senioritas-junioritas). Mengapa tidak sejalan? Alasannya secara teoretik, para mahasiswa (remaja akhir) tengah menjalani tahapan perkembangan formal operasional (Piaget, dalam Turner dan Helms, 1995). Dalam tahap ini digambarkan tengah terjadi kematangan otak yang membuat remaja mampu berpikir ilmiah, logis, dan termasuk berpikir abstrak. Mereka dapat melihat masalah sekaligus menyelesaikannya dengan cara yang logis lengkap dengan alasan-alasannya. Hal lain yang berkembang adalah kemampuan membangun hipotesis/asumsi yang relevan dengan masalah. Tidak mengherankan jika kemudian para dosen ketika perkuliahan berlangsung mengajak mahasiswa untuk mampu menganalisis masalah, sejalan dengan taksonomi Bloom yakni C4. Inilah ciri dari perguruan tinggi yang akan membedakan dirinya dengan pendidikan dasar dan menengah.

Para agen intervensi melatih para mahasiswa baru dengan materi dasar-dasar perilaku ilmuwan dan layaknya mahasiswa (tahu pembimbing akademik, tahu cara penilaian dll.). Kegiatan dapat berisi kecakapan belajar, pengenalan fasilitas belajar utama seperti perpustakaan dan akses internet akademik, dan mencicipi metode belajar aktif yang akan digunakan dalam perkuliahan, serta pengenalan sistem akademik. Materi-materi yang diberikan sangatlah umum dan dapat diganti sesuai dengan kebutuhan pihak universitas. Namun tanpa disadari mahasiswa, justru di sinilah letak perombakan pola pikir dari remaja SMA menjadi dewasa muda yang matang.

Variasi Metode  Pengajaran

Untuk cara penyampaian materi agar tidak bersifat menggurui dapat mengadopsi metode pelatihan. Sebagai contoh, para maba dari dibagi (merata dan campur) dalam kelas-kelas yang berisikan 30-36 mahasiswa. Di dalam kelas mereka dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Beragam aktivitas dapat dilakukan sebagaimana pelatihan. Tentu yang harus diingat adalah ada nilai dan norma yang hendak diperkenalkan kepada maba. Dengan kepiawaian dosen dan (sivitas akademika lain) sangat dimungkinkan pelatihan ini berdampak pada cara pandang maba terhadap fakultas/universitas yang dia pilih. Perubahan inilah yang kita harapkan. Tidak melulu perubahan fisik dari 18 tahun menjadi 22 tahun saat menjadi sarjana, tapi dari berpikir remaja menjadi pembelajar aktif yang tak lekang waktu.

Tulisan ini lagi-lagi bukan obat mujarab untuk semua masalah pendidikan di perguruan tinggi. Namun upaya perubahan harus dilakukan terlebih untuk mencapai pendidikan yang bermakna. 

Referensi:

Meinarno, EA. (2017). Intervensi Sosial untuk Perguruan Tinggi. Buletin KPIN. Vol. 3. No. 5, Mei 2017.

 

Takwin, B., Meinarno., EA., Salim, ES., Kurniawati, F., Diponegoro, M., Prasetyawati, W. (2011). Buku Orientasi Belajar Mahasiswa. Depok. Direktorat Pendidikan Universitas Indonesia. Digunakan internal.

Turner, JS., Helms, DB. (1995). Lifespan development. 5th ed. Harcourt Brace College Publisher. Fort Worth.