ISSN 2477-1686
Vol.3. No.3, Maret 2017
Sindrom Stockholm
“Aku Tetap Setia, Walaupun Tersakiti”
Rizki Rahmania Sari
Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Kisah Janay Rice, istri dari bintang football AS Ray Rice yang pada tahun 2014 silam terekam dalam video CCTV. CCTV tersebut memperlihatkan kejadian Ray menonjok istrinya di lift. Kerasnya pukulan tersebut membuat Janay sempat terjatuh dan tidak sadarkan diri. Meskipun merasa tersakiti baik secara fisik maupun batin, Janay memutuskan untuk tidak menuntut atau menggugat cerai suaminya. Ia memaklumi tindakan sang suami itu sebagai wujud ketidak sempurnaan manusia. "Semua orang pasti melakukan kesalahan," ungkap Janay (wolipop.detik.com, 2016).
Kisah lainnya disampaikan oleh seorang penulis bernama Leslie Morgan Steiner yang juga seorang korban KDRT, Ia menceritakan pengalamannya di acara TED Talk. Penulis buku 'Crazy Love' ini mengatakan, tahap pertama dari sebuah KDRT adalah menggoda korbannya lalu mengontrol kehidupan mereka pada segala aspek. "Kenapa aku bertahan? Aku tidak menyadari dia (suami) sedang menyiksaku. Bahkan saat dia sedang mengarahkan pistol ke kepalaku, mendorongku hingga ku terguling di tangga. “ Aku tidak pernah merasa sebagai istri yang tersiksa. Sebaliknya, aku adalah seorang wanita tangguh yang jatuh cinta dengan seorang pria bermasalah, dan hanya aku yang bisa menolongnya", ungkap Leslie (https://wolipop.detik.com).
Teori Sindrom Stockholm
Menurut Graham, Rawlings, Ihms, Latimer, Foliano, Thompson, & Hacker, 1995 sindrom Stockholm adalah suatu kondisi psikologis di mana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan, ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, dan menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi (dalam Sekarlina, & Margaretha, 2013).
Sindrom Stockholm dalam Hubungan Penuh Kekerasan
De Fabrique, Romano, Vecchi, & Van Hasselt (2007) menjelaskan bahwa sindrom Stockholm pada awalnya digunakan untuk menjelaskan suatu ikatan psikologis antara sandera dengan pelaku penyanderaan, penculikan, atau kondisi yang serupa dimana ada satu individu yang memiliki kekuatan dominan untuk membahayakan hidup korbannya (dalam Sekarlina & Margaretha, 2013). Lebih lanjut menurut Carver (dalam Sekarlina & Margaretha, 2013) sindrom Stockholm bukan hanya terjadi pada kasus penculikan saja, namun bisa dialami oleh orang yang memiliki relasi romantis atau hubungan keluarga seperti pasangan suami isteri, hubungan persaudaraan, orang tua dan lainnya.
Biasanya para korban yang mengalami kekerasan oleh pasangannya akan memilih untuk memutuskan atau mengakhiri hubungan mereka. Namun berbeda dengan para korban yang mengalami sindrom Stockholm mereka akan merasa nyaman dan tetap bertahan dengan kondisi kekerasan yang mereka terima. Tak heran jika para korban tersebut memilih untuk melanjutkan hubungan mereka meskipun telah mendapatkan penganiayaan berulang kali oleh pasangannya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Graham (dalam Sekarlina & Margaretha, 2013) menjelaskan terdapat empat kondisi dalam hubungan yang penuh kekerasan dan distorsi kognitif yang muncul pada diri korbannya untuk mengembangkan sindrom Stockholm. Kondisi pertama yaitu adanya ancaman terhadap keselamatan korban, baik secara fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh pelaku. Kondisi kedua yaitu pelaku mengancam korban untuk tidak melarikan diri atau pergi dari pelaku. Kondisi ketiga yaitu pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain di sekitarnya. Kondisi keempat yaitu pelaku menunjukkan kebaikan-kebaikan pada korbannya dalam bentuk apapun.
Referensi:
Carver, J.M. (2009). Love and stockholm syndrome: The mystery of loving an abuser. Diunduh dari http://drjoecarver.makeswebsites.com/clients/49355/File/love_and_stockholm_
De Fabrique, N.D., Romano, S.J., Vecchi, G.M., & Van Hasselt, V.B. (2007). Understanding stockholm syndrome. FBI Law Enforcement Bulletin. 76, 10-15.
Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K., Latimer, D., Foliano, J., Thompson, A., Hacker, R. (1995). A scale for identifying stockholm syndrome reactions in young dating women: Factor structure, reliability, and validity. Violence and Victims, 10,(1), 3-22.
Global Liputan 6. (2016). Stockholm syndrome, kisah korban kepincut perampok. Liputan 6. Diunduh dari http://global.liputan6.com/read/2299772/23-8-1973-stockholm-syndrome-kisah-korban-kepincut-perampok.
Sekarlina, I., & Margaretha. (2013). Stockholm Syndrome pada Wanita Dewasa Awal yang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh Kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2, (03).
Wolipop. (2016). Saat suami suka melakukan kekerasan, kenapa istri ada yang memilih bertahan. Detik. Diunduh dari https://wolipop.detik.com/read/2016/06/02/152715/3223987/852/saat-suami-suka-melakukan-kekerasan-kenapa-ada-istri-yang-memilih-bertahan