ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 22 November 2020

Diskriminatif dan Rasisme dalam Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

 

Oleh

Triantini Saraswati Hamoes

Program Studi Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa

Universitas Persada Indonesia YAI

 

Terbentuknya Kelompok Sosial Di Dalam Perspektif Makhluk Sosial

Seorang manusia pada hakekatnya tumbuh dan berkembang dengan saling membutuhkan satu sama lain. Sejak lahir hingga menutup usia, manusia tidak akan benar-benar bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebab, pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk berhubungan / berinteraksi dengan orang lain yang akhirnya membuat manusia disebut sebagai makhluk sosial (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006). Adanya kebutuhan manusia untuk berinteraksi, maka dapat terbentuk menjadi sebuah kelompok sosial. Terbentuknya suatu kelompok sosial tersebut tidak hanya berdasarkan interaksi semata, melainkan adanya kesamaan dari sisi pola pikir, agama, etnis, dan sebagainya untuk mencapai sebuah tujuan yang sama.

Sejak terciptanya ojek bebasis aplikasi / ojek online tidak sulit untuk menemukan berbagai kelompok sosial / komunitas ojek online yang memiliki kesamaan identitas sosial dalam hal profesi. Dalam video yang diunggah oleh akun Instagram @gojek24jam, tampak seorang driver Gojek sedang membantu driver Grab yang kesulitan di tepi jalan karena sepeda motornya yang mogok (Habib, Tomyzul. 2019. https://akurat.co/hiburan/id-667502-read-didorong-sampai-tujuan-aksi-driver-grab-dan-gojek-saling-bantu-mengantar-pelanggan, 27 Oktober 2020). Dengan slogan “solidaritas tanpa batas” dan “salam satu aspal”, komunitas tersebut membuktikan aksinya dengan memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar sesama tanpa adanya keinginan untuk bersaing satu sama lain.

Selanjutnya, terdapat gerakan feminis muda online yang bernama “Lawan Patriarki” dengan slogannya yang berbunyi ”feminisme adalah api di tengah gelapnya patriarki”, terbentuk karena adanya kesamaan dari pola pikir akan budaya patriarki yang meresahkan. Peran yang dilakukan gerakan tersebut cukup merepresentasikan tujuan yang ada didalamnya, terbukti dengan aksinya mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) secara konsisten, melalui unggahan berbagai post di akun media sosial yang menjelaskan isu-isu penting yang diangkat dalam protes dan mendorong perempuan muda untuk ikut berpartisipasi (Beta, Annisa R. 2020. https://theconversation.com/di-mana-perempuan-muda-di-indonesia-130394, 27  Oktober 2020).

Selain dua contoh kelompok sosial yang sudah dijelaskan, masih banyak kelompok sosial / komunitas / gerakan lain yang ada di Indonesia. Namun terlepas dari pengelompokan sosial yang ada, sesungguhnya seluruh masyarakat Indonesia telah berada dalam satu kesatuan yang memiliki identitas sosial “Bhinneka Tunggal Ika”. Identitas sosial tersebut sudah menjadi suatu prinsip kuat sejak masa proses kemerdekaan, yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Pursika (2009) menjelaskan bahwa perbedaan dalam kebhinekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan.

Diskriminatif Dan Rasisme Dalam Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

Berbagai perbedaan dalam satu kebhinekaan tunggal ika, selain memberi dampak positif dalam melestarikan keunikan aneka ragam budaya yang menjadi ciri khas Negara Indonesia, namun juga dapat memberikan dampak negatif. Biasanya, dampak negatif muncul dari prasangka (prejudice) yang diperlihatkan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Realita yang terjadi saat ini, masih ada sebagian kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa perbedaan itu ialah musuh yang harus dikalahkan dan perbedaan itu adalah suatu ancaman yang harus dihilangkan (Shofa, 2016). Adanya prasangka pada masing-masing kelompok sosial tentunya dapat memicu konflik yang dapat menimbulkan pertanyaan; sudahkah masyarakat Indonesia benar-benar menerima identitas sosialnya sebagai bagian dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika? 

Secara teori, dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia tentu sudah memahami arti dan intisari dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Namun sama halnya dengan “berkata lebih mudah daripada bertindak”, ironinya masyarakat Indonesia masih belum bergerak sebagai masyarakat multikultural yang sesungguhnya. Armiwulan (2015) mengatakan bagaimana masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki nilai-nilai yang mengedepankan toleransi, tapi dalam prakteknya belum bisa dilepaskan dari dominasi mayoritas dan minioritas yang seringkali memicu sikap rasial dan stereotip. Dalam kenyataannya, stereotip ini memiliki fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis individu untuk menginternalisasi nilai, membangun identitas kelompok, dan memberi pemahaman tindakan seseorang terhadap kelompok sosial lain. Demikian stereotip yang bernilai negatif pada akhirnya akan menciptakan prasangka yang berujung pada diskriminatif terhadap kelompok sosial tertentu.

Sejarah dan Prasangka Dalam Kasus Diskriminatif Etnis Tionghoa Di Indonesia

Dalam hal diskriminatif etnis, kasus yang saat ini masih menonjol ialah konflik etnis Tionghoa dengan pribumi. Kerusuhan Mei 1998 yang menggemparkan dunia memang membawa penderitaan yang luar biasa, bukan hanya kepada pribumi tetapi juga kelompok Tionghoa sendiri (Suryadinata, 2010). Walaupun Presiden keempat RI yang memiliki pandangan pluralis, Abdurahman Wahid telah menyudahi satu persatu konflik diskriminatif pada etnis Tionghoa, nyatanya sampai saat ini diskriminatif pada etnis minioritas tersebut masih sering terjadi bahkan sudah dianggap sebagai lelucon. Misalnya, seseorang yang memiliki perawakan berkulit putih dan bermata sipit seringkali dijuluki sebagai Ahok, salah satu Gubernur yang menjabat di DKI Jakarta dengan kasusnya yang dianggap menistakan agama.  

Tung Ju Lan membagi 4 kategori stereotip terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, kategori “asing” yang melekat pada warga etnis Tionghoa sekalipun yang bersangkutan sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Kedua, berkaitan dengan jenis pekerjaan yang digeluti oleh warga etnis Tionghoa cenderung kearah perdagangan hingga membawa bias pandangan bahwa warga etnis Tionghoa dicap sebagai economic animal. Ketiga, mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal usul warga Tionghoa, isu nasionalisme Indonesia, keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada bangsa Indonesia yang diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 dan dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC. Keempat, kebudayaan Tionghoa yang bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah sejalan dengan kebudayan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam kaitannya dengan makanan yang mengandung babi dan dianggap menyalahi ajaran agama Islam. Didukung oleh pendapat menurut James T Siegel (1998) kekerasan terhadap etnis Tionghoa diawali oleh berbagai pikiran-pikiran awal yang lebih tepat disebut prasangka (prejudice) yang telah ada sebelumnya terhadap etnis Tionghoa dan prasangka yang diciptakan dan disebarluaskan oleh kelompok politik yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai korban (dalam Murdianto, 2018). Berbagai prasangka dan stereotip ini, secara budaya, ekonomi dan politik berhasil menciptakan kecurigaan-kecurigaan yang membuat permasalahannya semakin melebar dan sulit dijangkau.

Sepanjang sejarah Indonesia, memang tidak dapat dipungkiri terdapat oknum-oknum yang terlibat dalam masa penderitaan Indonesia. Namun peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia tidak dapat dilupakan begitu saja. Suryadinata (2010) mengatakan bahwa lima tokoh peranakan Tionghoa (Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Tan Eng Hwa, S.H., Oei Tiang Tjoei dan Drs. Yap Tjwan Bing) telah ikut serta dalam persiapan kemerdekaan yang dipimpin Soekarno Hatta lebih dari 50 tahun lalu. Selanjutnya diantara empat korban Universitas Trisakti yang kemudian diberi penghargaan sebagai Pahlawan Reformasi, salah satunya bernama Henriawan Lesmana yang sebetulnya keturunan etnis Tionghoa bernama keluarga Sie. Namun sangat disayangkan, pahlawan-pahlawan yang berlatarbelakang etnis Tionghoa jarang diangkat ke media sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya.

Stereotip Dalam Kasus Rasisme Masyarakat Papua

Rasisme sebagai pendorong diskriminatif juga menjadi suatu konflik dari perbedaan kelompok sosial di Indonesia, khususnya antara masyarakat dengan kulit putih dan kulit hitam. Masyarakat non Papua, seringkali memberikan stereotip kepada masyarakat Papua sebagai golongan berkulit hitam, berambut keriting, terbelakang, pembuat onar hingga pemberian julukan monyet. Belum lama terjadi konflik antar mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di Surabaya dengan aparat dan ormas yang mengepung dan mengucapkan kalimat-kalimat bernada rasisme kepada para mahasiswa tersebut karena dugaan perusakan bendera merah putih. Realita yang terjadi saat ini, hukum di Indonesia seakan tidak berlaku bagi orang Papua. Ketika orang papua diperlakukan kurang manusiawi, harkat dan martabatnya dihina dengan tindakan kekerasan atau pembunuhan oleh oknum tertentu baik sipil maupun militer, tetap tidak berlaku hukuman bagi pelakunya (Sari & Samsuri, 2020). Selanjutnya, Islam (2012) menjelaskan bahwa konflik rasisme pada orang Papua juga dibentuk oleh stereotip media, dimana etnis kulit hitam Indonesia baik itu berasal dari Maluku, Papua atau NTT, dalam media di posisikan sebagai pihak yang bengis, menyukai hal yang berbau kejam dan kekerasan.

Jika dilihat dari dampak rasisme yang dirasakan oleh warga Papua, tentu secara psikologis sudah membuat mereka merasa tidak dihargai, tidak bermakna dan tidak diberlakukan secara manusiawi, baik secara verbal maupun non verbal. Beberapa pandangan, menilai bahwa masyarakat Papua cenderung menutup diri, bahkan dilihat dari faktanya beberapa kali mereka ingin melepaskan diri dari Indonesia. Padahal jika ditelusuri sebab akibatnya, hal demikian terjadi karena dasar stereotip yang membuat mereka enggan untuk membaur pada masyarakat non Papua. “Kami paham Indonesia tak peduli kesejahteraan orang Papua. Dengan mata kepala kami telah menyaksikan kekerasan polisi dan aparat saat membubarkan demo-demo orang Papua. Dan kami juga melihat bagaimana banyak orang Indonesia santai-santai saja menanggapi kekerasan terhadap orang Papua di Jawa. Kami mungkin tak pernah mengira mereka bisa sangat ugal-ugalan rasisnya.” Ungkap seorang masyarakat Papua dengan penutup “Indonesia berpikir orang Papua “terbelakang” dan daerah yang “terbelakang” tak menghasilkan orang pintar.” (Giay, 2019). https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9, 27 Oktober 2020).

Kesimpulan

Berdasarkan contoh-contoh kasus rasisme dan diskriminatif tersebut, dapat dipahami bahwa prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam artiannya tidak cukup hanya dipahami melalui penalaran, namun juga harus diwujudkan dalam tindakannya. Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan perlindungan untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif sebagai hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Armiwulan, 2015). Akan tetapi bukti nyata dari Undang-Undang tersebut justru berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Indonesia yang hidup dan berkembang dalam keragaman ras dan etnis yang ada.  Adanya perlakuan rasisme tidak hanya membawa sebuah jarak antar ras atau etnis, tapi juga luka bagi individu yang menjadi korban dengan munculnya perasaan tidak diterima dan rendah diri, yang akhirnya bukan tidak mungkin perasaan-perasaan tersebut membuat mereka gagal untuk berkembang menjadi versi terbaik dari diri mereka (Dewi, 2019). https://pijarpsikologi.org/rasisme-sebuah-luka-dibalik-perbedaan/, 27 Oktober 2020). Dengan meningkatkan sikap toleransi dan menerima perbedaan, setidaknya akan terbentuk Indonesia dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang seutuhnya.

 

Referensi:

 

Armiwulan, H. (2015). Diskriminasi rasial dan etnis sebagai persoalan hukum dan hak asasi manusia. MMH(4), 493-502.

Beta, A. R. (2020, February 4). Di mana perempuan muda (di) Indonesia? Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/di-mana-perempuan-muda-di-indonesia-130394

Dewi, K. (2019, September 19). Rasisme: Sebuah Luka Dibalik Perbedaan. Retrieved from PijarPsikologi: https://pijarpsikologi.org/rasisme-sebuah-luka-dibalik-perbedaan/

Giay, L. J. (2019, August 20). Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9

Islam, N. (2012). Representasi Etnisitas Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika Di Media. Jurnal Dakwah Tabligh, 13(2), 235-257.

Murdianto. (2018). Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia). Qalamuna, 10(2), 137-160.

Pursika, I. N. (2009). Kajian analitik terhadap semboyan ”bhinneka tunggal ika". Jurnal Pendidikan dan Pengajaran(1), 15-20.

Sari, E., & Samsuri. (2020). Etnosentrisme dan sikap intoleran pendatang terhadap orang papua. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1), 142-150.

Setiadi, E., Hakam, K., & Effendi, R. (2006). Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta: KENCANA.

Shofa, A. M. (2016). Memaknai kembali multikulturalisme indonesia dalam bingkai pancasila. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 34-41.

Suryadinata, L. (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.