ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 11 Juni 2024
Kenapa Jadi Pintar di Sekolah Tidak Selalu Berhasil dalam Kehidupan Nyata?
Oleh:
Tania Putri Tribrata, Penny Handayani
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Film Central Intelligence (2016) yang diperankan oleh Dwayne “The Rock” Johnson dan Kevin Hart merupakan contoh konkrit akan persoalan ini. Karakter Kevin Hart, Calvin Joyner, merupakan murid teladan yang dikagumi banyak orang ketika SMA. Selain pintar secara akademik, Calvin memiliki tenggang rasa yang tinggi dan banyak meraih prestasi di bidang non-akademik. Setelah lulus SMA, Calvin memasuki jurusan akuntansi di ternama dan mampu berkembang pesat sebagai mahasiswa di bidang tersebut. Terlepas dari kehebatannya semasa sekolah, Calvin ternyata berakhir menjalani hidup yang biasa-biasa saja sebagai seorang akuntan. Di kantor, Calvin tak kunjung mendapatkan promosi dan di rumah, hubungannya dengan sang istri tidak baik-baik saja. Ia merasa gagal berkarir dan menata hidupnya, serta tidak puas dengan kehidupannya sekarang. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Emotional Intelligence dan Positive Education.
Di dalam buku Emotional Intelligence, David Goleman (1995) berargumen bahwa Emotional Quotient (EQ) atau emotional intelligence lebih penting daripada Intelligence Quotient (IQ) dalam menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Untuk mencapai EQ yang baik, individu perlu memiliki self-awareness, self-management, social awareness, dan relationship management yang baik pula. Selain relationship management, yang mencakup (tetapi tidak terbatas pada) aspek seperti kerjasama dan influence, dimensi-dimensi EQ masih jarang ditemukan di kurikulum sekolah, terutama di Indonesia. Serupa dengan tulisan Goleman, Adler (2017) dalam penelitiannya tentang positive education mengatakan sistem pendidikan tradisional hanya berfokus pada mempersiapkan para siswa agar menjadi produktif dan sukses di bidang akademik, dan cakupan sukses yang dimaksud sangatlah terbatas. Sistem pendidikan yang sudah dijalankan selama ini seringkali tidak membekali siswa dengan ilmu untuk menjalani kehidupan yang sehat, memuaskan, serta bermakna. Di sekolah, siswa menjadi terpaku pada mendapatkan nilai yang bagus dan memiliki mentalitas “yang penting lulus” dibandingkan menghargai proses pembelajarannya. Oleh karena itu, siswa memiliki kecenderungan untuk menyontek atau melakukan
kecurangan guna meraih nilai yang tinggi tanpa memahami apa yang seharusnya dipelajari.
Hal tersebut kemudian mencerminkan bahwa hasil belajar yang (kelihatannya) baik dapat dengan mudah dimanipulasi, sedangkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalani hidup yang lebih bermakna dan bahagia membutuhkan pengalaman belajar yang lebih kompleks. Untuk mencapai hal tersebut, ilmu tentang well-being sebaiknya diajarkan di sekolah agar dapat memenuhi intrinsic value (manusia secara alami menginginkan kesejahteraan) dan instrumental value (kesejahteraan menghasilkan kehidupan yang didambakan) (Adler, 2017). Namun sayangnya, implementasi positive education masih terbatas di beberapa negara saja, seperti Amerika Serikat, Australia, India, China, Nepal, Kanada, Meksiko, Bhutan, Holland, dan Britania Raya.
Cognitive Bias, Growth Mindset, dan Inteligensi.
Laurie S. Santos dan Tamar Gendler (2014), dua profesor di Yale University, mencetuskan istilah the G.I. Joe Fallacy. G.I. Joe merupakan acara kartun anak yang terkenal di tahun 1980an. Di dalam acara kartun tersebut, karakter ini memiliki slogan yang berkata, “Now you know. And knowing is half the battle,” atau yang secara harfiah berarti, “Sekarang kamu tahu. Dan mengetahui adalah setengah dari perjuangan.” Menurut Santos dan Gendler (2014), hal tersebut merupakan kekeliruan pola pikir yang didasari oleh cognitive bias karena biasanya, sekadar mengetahui tidak secara otomatis berarti seseorang akan tahu bagaimana cara mengeksekusikannya. Misalnya, dalam konteks isu yang diangkat di esai ini, seorang murid akan belajar tentang pentingnya toleransi dan kerja sama secara teoritis di kelas, namun secara praktis, mereka tetap kesulitan untuk menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan murid yang lain. Artinya, ketika murid dipaparkan dengan berbagai materi di dalam kelas, murid tidak akan secara langsung memiliki kemampuan untuk melakukannya di dunia nyata. Hal ini mengacu pada cakupan belajar di sekolah yang sebagian besar masih terbatas pada pengetahuan teoritis dan seringkali guru tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana pembelajaran tersebut dapat digunakan di dunia nyata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa para pelajar tidak dibekali dengan ilmu yang dapat membantu mereka untuk menavigasi kehidupan di masyarakat. Melihat hal ini, konsep growth mindset yang dicetuskan oleh Carol Dweck di bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success menjadi menarik untuk dibahas. Growth mindset adalah pola pikir atau keyakinan seseorang bahwa kemampuan dasarnya dapat diasah melalui dedikasi dan kerja keras, dan kepintaran maupun bakat alami bukanlah aspek utama dalam mencapai kesuksesan (Dweck, 2006).
Pelajar dengan pola pikir ini akan cenderung tahan banting dan tidak cepat puas ketika menimba ilmu. Bagi mereka, nilai yang buruk, gagal masuk ke dalam organisasi yang diinginkan, atau kalah dalam suatu perlombaan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri. Mereka mampu mengubah pengalaman buruk atau kegagalan tadi menjadi motivasi atau drive untuk terus belajar menjadi lebih baik (Blackwell, Trzesniewski, & Dweck, 2007; Plaks & Stecher, 2007, dalam Rhew dkk., 2018). Selain itu, pelajar dengan growth mindset cenderung percaya bahwa belajar adalah proses yang akan berjalan seumur hidup dan mereka akan terus belajar bahkan tanpa ada ikatan dengan institusi pendidikan formal (Ng, 2018).
Perspektif psikologi lain yang relevan bagi fenomena ini adalah keberagaman intelegensi. Gardner (1983, dalam Cline dkk., 2015) menjelaskan beberapa jenis intelegensi selain dari IQ, yaitu linguistic intelligence, logical-mathematical intelligence, spatial intelligence, musical intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, interpersonal intelligence, dan intrapersonal intelligence. Setiap intelegensi ini memiliki fokus yang beragam dan sangat spesifik, dan dengan ekstensi, setiap individu memiliki kapasitas intelektual yang unik dan sangat melekat pada kultur yang dianut di lingkungan masing-masing (Gardner, 1999, p. 33, dalam Cline dkk., 2015). Teori ini selaras dengan growth mindset yang menekankan bahwa kepintaran bukanlah segalanya, dan sukses tak terbatas hanya pada kesuksesan akademik. Dengan adanya teori ini pula, sebaiknya para pendidik dapat mengarahkan para muridnya untuk bisa mengeksplor hal lain selain aspek akademik guna mengasah soft skills dan diterapkan di kemudian hari.
Implementasi growth mindset seharusnya dapat menjadi salah satu acuan kesuksesan seseorang. Bahwa tidak pintar di sekolah tidak selalu berarti tidak akan sukses di masyarakat atau di dunia kerja nanti, begitupun sebaliknya. Di samping itu, individu perlu sadar bahwa intelegensi tidak terbatas pada kepintaran saja. Dengan begitu, para pelajar tidak akan terlalu terpacu pada sekadar mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Jika pola pikir ini ditanamkan kepada para murid dari usia dini, ketahanan mental mereka di kemudian hari juga akan semakin baik dan mumpuni. Harapannya, kesuksesan mereka di sekolah tidak berakhir menjadi sebatas cerita masa lampau, seperti kisah Calvin Joyner.
School Smart VS Street Smart.
Semua perspektif psikologi di atas berhasil menjelaskan mengapa jadi pintar di sekolah tidak selalu berakhir sukses di kehidupan nyata. Masing-masing memiliki kelebihannya untuk mengembangkan kualitas pendidikan dan menghasilkan individu-individu yang lebih berkualitas pula. Para pelajar tetap harus memiliki daya juang yang tinggi, yaitu dengan memiliki growth mindset, guna mencapai kesuksesan tak hanya di sekolah, tetapi juga di masyarakat. Sebaiknya, kelima aspek psikologis di atas juga perlu dikombinasikan agar mencapai hasil yang lebih optimal. Pengetahuan di sekolah dan dipertajam dengan pengalaman aplikasi kerja di lapangan adalah kombinasi yang dapat dilakukan. Upaya ini memerlukan sinergi antara kebijakan, pembuat kebijakan, tenaga pendidik, dan para pelajar itu sendiri.
Referensi:
Adler, A. (2017). Positive education: Educating for academic success and for a fulfilling life. Psychologist Papers, 38(1), 50–57. https://doi.org/10.23923/pap.psicol2017.2821
Cline, T., Gulliford, A., & Birch, S. (2015). Educational Psychology: Topic in Applied Psychology (2nd ed.) [E-book]. Routledge.
Dweck, C. S. (2006). Mindset: the new psychology of success [E-book]. Random House Publishing Group.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ [E-book]. Bantam.
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Kenali Kurikulum Merdeka, Tingkatkan kualitas pembelajaran. Retrieved March 13, 2024, from https://kurikulum.kemdikbud.go.id/
Ng, B. C. (2018). The neuroscience of growth mindset and intrinsic motivation. Brain Sciences, 8(2), 20. https://doi.org/10.3390/brainsci8020020
Rhew, E. A., Piro, J., Goolkasian, P. E., & Cosentino, P. E. (2018). The effects of a growth mindset on self-efficacy and motivation. Cogent Education, 5(1), 1492337. https://doi.org/10.1080/2331186x.2018.1492337
Santos, L. R., & Gendler, T. (2014). Edge.org. Retrieved March 13, 2024, from https://www.edge.org/response-detail/25436