ISSN 2477-1686 

Vol.3. No.2, Februari 2017

 

Benarkah Menikah Pilihan Hidup? Menilik Fenomena Lajang di Indonesia

Karel Karsten 

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

“Potong bebek angsa, masak di kuali, jomblo udah lama, nyesek tiap hari. Galau ke sana, galau ke sini, lalalalala…”

Begitu potongan lirik yang sudah dipelintir oleh kalangan lajang di Indonesia. Masih banyak lagi gambar (yang sering disebut MEME ~ Bahasa Inggris dari semboyan berbasis budaya) yang menggambarkan lika-liku kehidupan para lajang, yang populernya disebut jomblo. Komunitas para lajang di Jakarta bersatu dalam sebuah grup di dunia maya, menamakan diri sebagai Dewan Kesepian Jakarta. Bahkan di Bandung, Kang Emil mendedikasikan sebuah taman untuk para lajang, yang diberi nama Taman Jomblo.

Menikah memang pilihan, sehingga yang tidak menikah tidak seharusnya mendapat sorotan negatif. Namun di Indonesia, harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap pernikahan sebagai sebuah kesuksesan tertinggi, sehingga mereka yang gagal menikah di akhir usia 20 tahunan, apalagi sudah memasuki usia 30 tahunan, juga dianggap gagal dalam seluruh hidupnya. penelitian kualitatif terhadap perempuan lajang di Yogyakarta pernah dilakukan pada tahun 2005(Situmorang, 2005). Hasilnya, perempuan lajang di usia 30 tahunan mengaku mendapat stigma negatif dari teman dan keluarga sehingga membuat mereka merasa didiskriminasi. Mereka sering dianggap ‘gila karier’, egois, dan terlalu selektif memilih pasangan.Menikah memang pilihan, tetapi bagi dewasa muda di usia 30 tahunan, menikah sepertinya merupakan satu-satunya pilihan.

Mengapa Jomblo?

Sama seperti menikah adalah pilihan, sebenarnya menjadi lajang seumur hidup pun bisa menjadi pilihan. Beberapa orang memilih melajang seumur hidup, walau ada beberapa lainnya yang sebenarnya sangat ingin, namun tidak atau belum dapat, menikah. Dibandingkan dengan mereka yang memutuskan melajang seumur hidup, tentu para lajang yang sebenarnya ingin menikah lebih sulit dalam menghadapi tekanan dari masyarakat. Supaya lebih mudah membahasnya, sebut saja ada dua kelompok lajang, lajang karena pilihan dan karena situasi.

Kemajuan teknologi dan pergeseran gaya hidup ditengarai menjadi alasan mengapa seseorang memilih menjadi lajang. Sejak tahun 1800-an, berkembang paham bahwa seks merupakan misi utama seseorang menikah dan pernikahan merupakan gerbang utama menikmati seks secara legal (Furstenberg, 2015; Velde, 1928). Ketika seks dapat dengan mudah diperoleh melalui internet atau cohabitation (atau kumpul kebo), yang sekarang sudah semakin lumrah di masyarakat kita, maka pernikahan mulai ditinggalkan. Kesulitan mengurus anak dan sederetan masalah perkawinan yang berujung pada perceraian juga menjadi alasan mengapa sebagian lajang memilih untuk menghindari pernikahan(Jones & Yeung, 2014).

Namun demikian, kalau melihat nuansa humor dari meme tentang jomblo yang berkembang dalam masyarakat, sepertinya lebih banyak orang yang menjadi lajang karena dipaksa oleh situasi, ironisnya, sedikit banyak karena kemajuan akses pada pendidikan dan industri.

Jumlah Jomblo Berbanding Lurus dengan Kemajuan Industri

Merangkum beberapa hasil survei dan penelitian yang sudah dilakukan, lajang karena situasi bisa disebabkan karena kemajuan industri di suatu negara. Dalam ulasannya, seorang profesor di bidang Sosiologi dari University of Pennsylvania, Frank Furstenberg, mengatakan bahwa negara yang sedang berkembang ditandai dengan kesetaraan gender dan meningkatnya kebutuhan sumber daya manusia untuk memutar roda-roda industri(Furstenberg, 2015). Hal ini juga terjadi di Indonesia (Hull, 2002). Konsekuensinya, jumlah perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi dan membangun karier menjadi semakin banyak. Uniknya, statistik menunjukkan bahwa jenjang karier rata-rata perempuan cenderung menunjukkan tren yang meningkat, sedangkan pada laki-laki cenderung stagnan. Akibatnya, lebih banyak perempuan yang menghabiskan masa mudanya meniti jenjang karier sehingga ketika waktunya ia untuk menikah, di samping ia kekurangan waktu untuk bersosialisasi dan membangun hubungan romantis, ekspektasinya pun meningkat untuk mencari teman hidupnya. Bayangkan, tentu akan menjadi sorotan bagi teman dan keluarga jika seorang perempuan dengan pendidikan master bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan, menikah dengan seorang lelaki tamatan sarjana yang hanya menjadi staf saja. Akhirnya, situasi ini membuat semakin sedikit ‘stok’ yang tersedia bagi perempuan untuk mencari lelaki yang sepadan, membuatnya menjadi semakin berpeluang menjadi lajang karena situasi.

Lelaki Lajang Tetap Diuntungkan

Meski kenaikan jumlah lajang terjadi pada lelaki dan perempuan, dalam masyarakat, lelaki tetap menjadi kaum yang diuntungkan. Buktinya, kerap kita dengar istilah ‘perawan tua’, tetapi istilah ‘perjaka tua’ rasanya kurang populer, bahkan hampir tidak pernah disebutkan. Mengapa demikian?

Teori psikologi evolusi yang dikemukakan oleh Stein (1981)memberikan jawaban. Di awal usia 20 tahun, seorang perempuan lajang boleh jadi lebih bahagia daripada lelaki lajang. Di masa itu, penampilan fisik yang masih menawan serta kepercayaan diri akan suburnya fungsi reproduksi membuat perempuan merasa memiliki masa depan yang cerah dengan banyak pilihan lelaki yang potensial menjadi pasangan hidupnya. Namun, di usia 30 tahunan, saat penampilan fisik mulai kurang menawan, lingkaran pergaulan sosial semakin sempit, dan fertilitas yang semakin menurun seiring bertambahnya usia, membuat perempuan kurang percaya diri. Akibatnya, perempuan yang masih lajang hingga usia 30 tahunan menjadi sangat rentan dianggap terlalu selektif memilih pasangan, terlalu memikirkan kesuksesan karier, bahkan gagal dalam pergaulan. Sebaliknya, pada lelaki, kemampuan untuk reproduksi akan cenderung sama sejak ia remaja hingga tua, sehingga seolah-olahstatus lajang tidak pernah menetap pada dirinya. Karena tidak ada batasan waktu, lelaki yang setelah lulus tidak langsung menikah, melainkan meniti karier hingga usia 30 tahunan, sering dikonotasikan positif oleh masyarakat sebagai lelaki yang mapan.

Salahkah Jomblo?

Di balik senyuman atas lelucon yang dibuat oleh para jomblo mengenai statusnya, air mata tetap membasahi pipi sebagian dari mereka, terutama yang menjadi lajang karena situasi. Hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2013 memang menunjukkan bahwa mereka yang tidak menikah lebih berbahagia daripada yang menikah. Namun sayangnya, Badan Pusat Statistik tidak membedakan mereka yang tidak menikah karena pilihan atau karena situasi. Di samping itu, senyum juga seringkali menjadi topeng favorit bagi para lajang karena situasi agar tidak dipersalahkan oleh karena statusnya. Dengan tampak seolah-olah bahagia, mereka berharap orang-orang sekitar berhenti memberikan penilaian negatif terhadapnya. Namun, pura-pura bahagia sebenarnya terasa lebih menyedihkan daripada kondisi tidak bahagia itu sendiri. Berbagai penelitian mengkonfirmasi bagaimana para lajang, terutama yang menjadi lajang karena situasi, lebih tidak berbahagia, lebih rentan terhadap depresi, serta kurang puas dengan hidupnya. Jika kita menelusuri laman mesin pencari Google, jugatidak sulit untuk menemukan kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh para lajang.

Oleh karenanya, sudah saatnya kita berhenti menilai kualitas seseorang hanya berdasarkan status perkawinannya, karena menikah tidak dapat terjadi berdasarkan keinginan satu orang saja, dan memaksakan diri untuk menikah hanya menciptakan kebahagiaan semu yang sangat sementara. Berhentilah bertanya ‘kapan kawin’, karena itu bukan lagi pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Di negara Barat, pertanyaan tentang pernikahan dan usia merupakan pertanyaan yang sangat tabu untuk ditanyakan. Saya pikir, dalam hal ini, penting bagi kita untuk menjaga privasi dan menghargai pilihan dan keadaan sesama, dengan tanpa meninggalkan unsur-unsur keramahtamahan dan kolektivitas sebagai cerminan budaya kita. Tempatkanlah menikah sebagai pilihan, dan bukan satu-satunya pilihan.

 

Referensi:

Furstenberg, F. F. (2015). Will marriage disappear? Proceedings of the American Philosophical Society, 158(3), 241-246.

Hull, T. H. (2002). The marriage revolution in Indonesia. Paper presented at the Population Association of America, Atlanta.

Jones, G. W., & Yeung, W.-J. J. (2014). Marriage in Asia. Journal of Family Issues, 35(12), 1567-1583.

Situmorang, A. (2005). Staying single in a married world: The life of never married women in Yogyakarta and Medan. Retrieved from Singapore: https://ari.nus.edu.sg/Publication/Detail/522

Stein, P. J. (1981). Understanding single adulthood. In P. J. Stein (Ed.), Single Life: Unmarried Adults in Social Context. New York, NY: St. Martin's Press.

Velde, H. V. d. (1928). Ideal marriage: It's physiology and technique. London: William Heinemann.