Vol. 10 No. 01 Januari 2024
Kesehatan Mental vs Produktivitas: Mana yang Lebih Penting dan Menurut Siapa?
Oleh:
Nicholas Simarmata1 & Dian Jayantari Putri K. Hedo2
1Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Keberadaan semua organisasi pasti memiliki tujuan agar organisasi tersebut dapat berkembang dan mengembangkan anggotanya serta ekosistem yang terlibat di dalamnya. Namun organisasi saat ini mengalami situasi yang cenderung menantang. Organisasi mengalami tekanan yang bertubi-tubi. Organisasi mengalami disrupsi digital, pandemi akibat Covid-19, krisis iklim, tekanan ekonomi, dan, khusus di Indonesia, berhadapan dengan dinamika politik yang fluktuatif. Hal ini berakibat pada munculnya masalah kesehatan mental yang dialami oleh para pekerja.
Satu dari lima orang dewasa usia kerja memiliki masalah kesehatan mental dengan angka prevalensi seumur hidup mencapai 50% (Organisation for Economic Co-operation and Development, 2012). Sebagian besar kerugian ekonomi akibat penyakit mental terjadi karena para pekerja (yang sebagian besar tidak memiliki akses terhadap bantuan sosial) menjadi kurang produktif ketika mereka memiliki masalah kesehatan mental. Di Amerika Serikat, misalnya, sekitar setengah dari keseluruhan biaya dikeluarkan untuk mengurangi depresi yang menyebabkan berkurangnya produktivitas pekerja (National Institute of Mental Health, 2000; Greenberg et al., 2003). Ketidakmampuan kerja karena gangguan kesehatan mental menyebabkan 5,9% hilangnya hari kerja di Jerman dan 14% ketidakhadiran karena sakit di Inggris (International Labor Organization, 2000).
Sejumlah urusan dan target bisnis perusahaan tidak dapat tercapai karena masalah di atas. Hal ini kemudian memunculkan krisis produktivitas yang menimpa perusahaan. Peringatan tentang masalah ini dikemukakan oleh ekonom Mike Walden dari North Carolina State University. Dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan bahwa salah satu ukuran perekonomian yang kurang dihargai adalah produktivitas pekerja yang mengukur seberapa banyak hasil yang dicapai seorang pekerja (yang disebut output) dalam periode waktu tertentu, biasanya dalam satu jam. Ketika produktivitas pekerja meningkat, itu berarti pekerja menjadi lebih efisien, yaitu mereka menghasilkan lebih banyak output dalam satu jam. Oleh karena itu, pekerja yang lebih produktif akan lebih bernilai bagi organisasi. Pekerja yang lebih produktif cenderung dibayar lebih tinggi, baik dalam bentuk upah maupun tunjangan (Maryoto, 2023).
Kesehatan mental memiliki peran penting dalam kesejahteraan dan kinerja pekerja secara keseluruhan. Tingkat stres, kecemasan, atau kelelahan yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap kemampuan pekerja untuk berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan melakukan tugas secara efektif. Kesehatan mental yang terganggu dapat menyebabkan penurunan kinerja dan produktivitas kerja (Kazmi, Amjad and Khan, 2008).
Hal ini juga mencakup biaya peluang akibat hilangnya output dimana orang dengan gangguan mental memiliki kemungkinan yang kecil untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja, serta memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi dan produktivitas yang berkurang ketika mereka berpartisipasi (Kessler and Frank, 1997; Lim, Sanderson and Andrews, 2000; Marcotte and Wilcox-Gök, 2001; Frijters, Johnston and Shields, 2014). Hilangnya produktivitas akibat kehadiran dalam kasus penyakit dan kesehatan mental diperkirakan lebih besar daripada hilangnya produktivitas akibat ketidakhadiran (Hemp, 2004; Hilton et al., 2008). Berkurangnya produktivitas di tempat kerja dapat terjadi jika pekerja berada dalam kondisi kesehatan mental yang buruk (Caverley, Cunningham, & MacGregor, 2007).
Dalam menyikapi hal di atas, perusahaan dapat bereksperimen untuk mencari solusi terhadap krisis produktivitas. Misalnya perusahaan perlu mempertimbangkan kondisi fisik tempat kerja dan kesesuaian kondisinya karena hal tersebut berkontribusi penting bagi pekerja baik secara fisik mapupun mental. Perusahaan juga dapat memastikan terdapatnya lingkungan kerja yang sehat dan aman agar berdampak positif bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Hal itu juga penting untuk memberikan dampak positif terhadap produktivitas kerja pekerja (Kiliç et al., 2023).
Organization for Economic Co-operation and Development telah memprioritaskan kesehatan mental sebagai tantangan pasar tenaga kerja. Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk mengidentifikasi beberapa cara agar kebijakan ketenagakerjaan dan praktik pengusaha dapat dirancang ulang agar mendukung inklusivitas dan produktivitas pekerja yang mengalami masalah kesehatan mental (Organisation for Economic Co-operation and Development, 2012). Adanya inisiatif untuk membantu pekerja mengelola stres kerja merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan produktivitas pekerja terkait dengan kondisi kesehatan mental (Bubonya, Cobb-Clark, & Wooden, 2016).
Maka sudah seharusnya kesehatan mental dan produktivitas kerja merupakan hal yang sama-sama penting bagi pengusaha dan pekerja. Sebab jika pengusaha hanya menuntut produktivitas kerja saja pada pekerja dan kurang memperhatikan masalah kesehatan mental pekerja maka sebenarnya yang mengalami kerugian adalah kedua belah pihak. Artinya pekerja menjadi tidak produktif dan akibat tidak produktif maka pengusaha juga mendapat rugi secara bisnis. Namun jika pekerja hanya menuntut agar kesehatan mentalnya diperhatikan tapi mengacuhkan produktivitas kerjanya maka pekerja juga tidak akan dapat memenuhi target dari pengusaha dan pengusaha akan akan mengalami kerugian juga. Sehingga antara pengusaha dan pekerja perlu menilai dan mempraktekkan kesehatan mental dan produktivitas secara berimbang dan proporsional agar tercapai tujuan organisasional.
Referensi
Bubonya, M., Cobb-Clark, D. A. and Wooden, M. (2016) ‘Mental Health and Productivity at Work: Does What You Do Matter?’, IZA Discussion Papers, 9879.
Caverley, N., Cunningham, J. B. and MacGregor, J. N. (2007) ‘Sickness presenteeism, sickness absenteeism, and health following restructuring in a public service organization’, Journal of Management Studies, 44(2), pp. 304–319.
Frijters, P., Johnston, D. W. and Shields, M. A. (2014) ‘The effect of mental health on employment: Evidence from Australian panel data’, Health Economics, 23(9), pp. 1058–1071.
Greenberg, P. E. et al. (2003) ‘The economic burden of depression in the United States: How did it change between 1990-2000?’, Journal of Clinical Psychiatr, 64(12), pp. 1465–1475.
Hemp, P. (2004) ‘Presenteeism: At work-but out of it’, Harvard Business Review, 82(10), pp. 49–58.
Hilton, M. F. et al. (2008) ‘Mental ill-health and the differential effect of employee type on absenteeism and presenteeism’, Journal of Occupational and Environmental Medicine, 50(11), pp. 1228–1243.
International Labor Organization (2000) Mental Health in the Workplace. Geneva: ILO.
Kazmi, R., Amjad, S. and Khan, D. (2008) ‘Occupational stress and its effect on job performance. A case study of medical house officers of district Abbottabad’, J Ayub Med Coll Abbottabad, 20(3), pp. 135–139.
Kessler, R. C. and Frank, R. . (1997) ‘The impact of psychiatric disorders on work loss days’, Psychological Medicine, 27(4), pp. 861–873.
Kiliç, M. et al. (2023) ‘The effect of mental health and work performance level of hospital employees on occupational health and safety culture’, ESTUDAM Public Health Journal, 8(3), pp. 260–274.
Lim, D., Sanderson, K. and Andrews, G. (2000) ‘Lost productivity among full-time workers with mental disorders’, Journal of Mental Health Policy and Economics, 3(3), pp. 139–146.
Marcotte, D. E. and Wilcox-Gök (2001) ‘Estimating the employment and earnings cost of mental illness: Recent developments in the United States’, Social Science & Medicine, 53(1), pp. 21–27.
Maryoto, A. (2023) ‘Krisis Produktivitas Tengah Melanda: Inovasi Bisnis’, Kompas, 30 November, p. 9.
National Institute of Mental Health (2000) The Economic Cost of Mental Illness. Rockville (MD): The Lewin Group, National Institute of Mental Health.
Organisation for Economic Co-operation and Development (2012) Sick on the Job? Myths and Realities about Mental Health and Work, Mental Health and Work. Paris: OECD Publishing.