ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 24 Desember 2023

 

Liberosis: Sedang di Fase Selalu Bersikap “Yaudahlah” Sama Semuanya

 

Oleh:

Siti Halida Lubis

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Liberosis adalah keadaan dimana seseorang tidak terlalu peduli lagi dengan segala sesuatu yang menghampiri hidupnya. Orang yang mengalami liberosis ingin merasa santai pada dirinya sendiri tanpa harus memikirkan orang lain dan lingkungan sekitar karena liberosis bisa menjadi sebuah cara untuk mengatasi stres dan kecemasan, mengekspresikan diri dan identitas, dan mencari makna dan tujuan hidup, serta liberosis dapat menyadarkan kita bahwa tidak semua hal dapat di kendalikan sesuai keinginan. Namun, liberosis juga bisa menjadi sebuah bentuk pelarian dan penghindaran, alienasi dan isolasi, nihilisme dan skeptisisme. Oleh karena itu, kita perlu menimbang dan menyeimbangkan liberosis yang kita lakukan, agar tidak berlebihan atau berkekurangan.

Dari sudut pandang psikologis, liberosis bisa dianggap sebagai sebuah mekanisme koping atau cara untuk mengatasi stres dan kecemasan yang kita alami dalam hidup. Stres dan kecemasan adalah hal yang normal dan wajar, namun jika berlangsung secara berlebihan, hal tersebut dapat memiliki dampak yang merugikan terhadap mental dan fisik. Oleh karena itu, kita perlu mencari cara untuk mengurangi atau mengelola stres dan kecemasan yang  dirasakan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan prinsip liberosis, yaitu dengan mengurangi atau mengabaikan hal-hal yang membuat kita stres atau cemas, dan fokus pada yang membuat kita senang atau tenang. Dengan begitu, kita bisa merasa lebih rileks dan bahagia, dan menghindari efek negatif dari stres dan kecemasan.

 

Namun, liberosis juga bisa menjadi sebuah bentuk pelarian atau penghindaran dari masalah yang kita hadapi dalam hidup. Masalah adalah hal yang tidak bisa dihindari, dan kadang-kadang kita perlu menghadapinya dan menyelesaikannya, bukan menghindarinya atau melupakannya. Jika kita terlalu sering atau terlalu lama melakukan liberosis, kita bisa kehilangan keterampilan atau kemampuan untuk mengatasi masalah yang ada, dan menjadi tidak siap atau kurang mampu menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan. Selain itu, kondisi ini juga dapat membuat kita kehilangan motivasi atau tujuan hidup, karena kita tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitar kita, atau apa yang kita inginkan atau harapkan dari hidup kita. Oleh karena itu, liberosis dapat berkembang menjadi sebuah bentuk depresi atau apatis, yang juga bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik kita.

 

Dari sudut pandang sosial, liberosis bisa dianggap sebagai sebuah cara untuk mengekspresikan diri atau identitas kita, yang mungkin berbeda atau bertentangan dengan norma atau harapan sosial yang ada. Norma atau harapan sosial adalah aturan atau standar yang ditetapkan oleh masyarakat atau kelompok tertentu, yang mengatur bagaimana kita seharusnya berperilaku atau berpikir dalam situasi tertentu. Norma atau harapan sosial bisa bermanfaat untuk menciptakan ketertiban atau keselarasan dalam masyarakat atau kelompok, namun juga bisa menjadi sebuah batasan atau tekanan bagi kita, yang mungkin merasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan norma atau harapan tersebut. Oleh karena itu, kita mungkin ingin melakukan liberosis, yaitu dengan menolak atau mengabaikan norma atau harapan sosial yang ada, dan berperilaku atau berpikir sesuai dengan keinginan atau nilai kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa merasa lebih bebas dan otentik, dan menghargai diri kita sebagai individu yang unik dan berbeda.

 

Namun, liberosis juga bisa menjadi sebuah bentuk alienasi atau isolasi dari masyarakat atau kelompok yang kita miliki. Masyarakat atau kelompok adalah tempat kita berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain, yang mungkin memiliki kesamaan atau perbedaan dengan kita. Masyarakat atau kelompok bisa memberikan kita dukungan atau bantuan, namun juga bisa memberikan kita kritik atau konflik. Jika kita terlalu sering atau terlalu lama melakukan liberosis, kita bisa kehilangan kontak atau koneksi dengan orang lain, dan menjadi tidak peduli atau tidak terlibat dengan apa yang terjadi di masyarakat atau kelompok kita. Selain itu, liberosis juga bisa membuat kita kehilangan rasa hormat atau tanggung jawab terhadap masyarakat atau kelompok kita, karena kita tidak lagi menghormati atau mematuhi norma atau harapan sosial yang ada. Dengan demikian, liberosis bisa menjadi sebuah bentuk egoisme atau individualisme, yang juga bisa berdampak negatif pada hubungan sosial dan kesejahteraan bersama kita.

 

Dari sudut pandang eksistensial, liberosis bisa dianggap sebagai sebuah cara untuk mencari makna atau tujuan hidup, yang mungkin tidak jelas atau tidak pasti bagi kita. Makna atau tujuan hidup adalah alasan atau motivasi yang mendorong kita untuk hidup, yang mungkin berbeda-beda bagi setiap orang. Makna atau tujuan hidup bisa berasal dari berbagai sumber, seperti agama, filsafat, seni, ilmu, atau pengalaman pribadi. Namun, kadang-kadang kita mungkin merasa bingung atau ragu dengan makna atau tujuan hidup yang kita miliki, atau mungkin merasa tidak memiliki makna atau tujuan hidup sama sekali. Oleh karena itu, kita mungkin ingin melakukan liberosis, yaitu dengan melepaskan diri dari segala hal yang membuat kita bingung atau ragu, dan mencoba untuk menemukan atau menciptakan makna atau tujuan hidup yang baru atau berbeda. Dengan begitu, kita bisa merasa lebih hidup dan bersemangat, dan menikmati hidup dengan cara yang lebih penuh dan mendalam.

 

Namun, liberosis juga bisa menjadi sebuah bentuk nihilisme atau skeptisisme terhadap makna atau tujuan hidup, yang mungkin tidak ada atau tidak penting bagi kita. Nihilisme atau skeptisisme adalah pandangan atau sikap yang menolak atau meragukan adanya makna atau tujuan hidup, atau nilai atau kebenaran apapun. Nihilisme atau skeptisisme bisa berasal dari berbagai faktor, seperti pengalaman negatif, ketidakadilan, ketidakpastian, atau ketiadaan. Jika kita terlalu sering atau terlalu lama melakukan liberosis, kita bisa kehilangan rasa kagum atau penasaran terhadap hidup, dan menjadi tidak peduli atau tidak tertarik dengan apa yang terjadi di hidup kita. Selain itu, liberosis juga bisa membuat kita kehilangan rasa harapan atau optimisme terhadap masa depan, karena kita tidak lagi memiliki makna atau tujuan hidup yang menginspirasi atau memotivasi kita. Dengan demikian, liberosis bisa menjadi sebuah bentuk putus asa atau apatis, yang juga bisa berdampak negatif pada kualitas hidup dan kebahagiaan kita.

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa liberosis adalah sebuah konsep yang memiliki dua aspek, yaitu positif dan negatif, tergantung pada perspektif dan penggunaannya. Liberosis bisa menjadi sebuah cara untuk mengatasi stres dan kecemasan,  mengekspresikan diri dan identitas, dan mencari makna dan tujuan hidup. Namun, liberosis juga bisa menjadi sebuah bentuk pelarian dan penghindaran, alienasi dan isolasi, nihilisme dan skeptisisme. Oleh karena itu, kita perlu menimbang dan menyeimbangkan liberosis yang kita lakukan, agar tidak berlebihan atau berkekurangan.

 

Referensi:

 

Apa Saja Faktor yang Menyebabkan Seseorang Mengalami Gangguan Liberosis. https://www.dictio.id/t/apa-saja-faktor-yang-menyebabkan-seseorang-mengalami-gangguan-liberosis/56217

Aprilia, L. (2020). 5 Perspektif Dalam Psikologi: Pendekatan Umum. https://kampuspsikologi.com/perspektif-dalam-psikologi-5-pendekatan-umum/.

Fayard, J. V. (2020). Liberosis: On Escaping Guilt in a Time of Pandemic. https://www.psychologytoday.com/us/blog/people-are-strange/202009/liberosis-escaping-guilt-in-time-pandemic.

 

The Practical Psychologist. https://thepracticalpsych.com/blog/liberosis.