ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 20 Oktober 2023

 

Keberfungsian Keluarga Dalam Perceraian

 

Oleh:

Siti Maftukha

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Banyak anak-anak yang tumbuh dari keluarga cemara yang di dalamnya penuh dengan dukungan, cinta, kasih, dan sayang. Namun, tidak sedikit juga anak-anak yang tumbuh dari keluarga tidak harmonis dengan anggota keluarga yang tidak rukun, jauh, bahkan asing. Salah satu penyebab dari keluarga tidak harmonis adalah perceraian orang tua. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 516.344 kasus perceraian yang terjadi di Indonesia tahun 2022 pada masyarakat penganut agama Islam dan meningkat sebesar 15,3% dari tahun sebelumnya.  Saragi, dkk. (2022) berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu bentuk ikatan yang sah antara laki-laki dengan perempuan melalui perkawinan yang diakui baik oleh masyarakat maupun agama yang pada akhirnya melahirkan keturunan yang secara hukum menjadi tanggung jawab mereka.

 

Dalam suatu keluarga tidak lepas dari konflik-konflik yang tidak dapat dihindarkan. Penyebab konflik-konflik tersebut juga sangat bervariasi dan berbeda dari keluarga satu dengan keluarga yang lain. Konflik yang berasal dari orang tua dalam artian suami istri yang berkepanjangan serta tidak berujung pada suatu keluarga mungkin akan menyebabkan hubungan dalam keluarga tersebut menjadi tidak baik yang jika tidak diselesaikan akan menyebabkan perceraian. Perceraian diartikan sebagai berakhirnya sebuah pernikahan dan status suami istri dalam sebuah keluarga. Perceraian memberikan dampak bagi semua anggota keluarga yang terlibat di dalamnya terutama pada anak-anak. Azra (2017) menyatakan bahwa keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental bagi anak. Salah satu penyebab dari ketidakharmonisan tersebut adalah perceraian.

 

Penyebab perceraian

Banyak sekali faktor penyebab dari perceraian. Mulai dari faktor ekonomi, abusive relationship baik physically maupun emotionally, kurangnya komitmen, perselingkuhan, dan lain sebagainya. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menyatakan bahwa penyebab tertinggi kasus perceraian di Indonesia adalah perselisihan dan pertengkaran yang tidak berujung serta tidak terselesaikan dengan baik. Manna, dkk. (2021) menyebutkan bahwa beberapa faktor penyebab perceraian antara lain faktor ekonomi, faktor komunikasi yang buruk, faktor karena adanya orang ketiga atau perselingkuhan, dan faktor sosial budaya.

 

Dampak perceraian

Perceraian berdampak bagi seluruh anggota dalam keluarga tersebut. Hetherington (2003, dalam Azra, 2017) mengungkapkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai beresiko tinggi mengalami banyak masalah-masalah perkembangan psikologis, tingkah laku, sosial, dan akademik dibandingkan dengan keluarga yang tidak bercerai. Dalam jangka waktu 6 tahun setelah perceraian orangtua, anak akan tumbuh dengan rasa kesepian, tidak bahagia, mengalami kecemasan, dan perasaan tidak aman sejalan dengan penelitian dari Amato dan Keith (dalam Dewi & Utami, 2008) bahwa individu yang hidup dengan pengalaman perceraian orang tua akan memiliki kualitas hidup (well-being) yang lebih rendah di masa dewasanya dimana individu merasa tidak percaya diri, kurang mampu dalam menjalin hubungan sosial, dan menunjukkan performansi kerja yang kurang baik. Penelitian dari Mone (2019, dalam Valencia & Soetikno, 2022) menyatakan bahwa  anak-anak korban perceraian dari Kecamatan Oebobo Kota Kupang yang diwawancarai merasa malu dan sedih saat ditanyakan tentang keberadaan orang tuanya sehingga menjawab bahwa orang tuanya sudah meninggal atau berada di luar kota.

 

Keberfungsian keluarga

Salah satu dampak dari perceraian adalah mengenai keberfungsian keluarga. Keberfungsian keluarga akan mempengaruhi kualitas kehidupan dalam keluarga yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga yang pada akhirnya berpengaruh terhadap keseimbangan serta kesehatan mental dan fisik anggota keluarga. Keberfungsian keluarga adalah frekuensi rutinitas keluarga yang normal, efektivitas komunikasi keluarga, pemecahan masalah, kekompakan keluarga, dan seberapa baik anggota keluarga bersama (Dharmaraj & Ng, 2021 dalam Valencia & Soetikno, 2022). Keberfungsian keluarga turut berpengaruh terhadap komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga di dalamnya. Komunikasi yang baik, timbulnya trust, penyelesaian konflik dengan baik, terdapat kasih, dan sayang antar keluarga memiliki arti bahwa keluarga berfungsi secara baik. Namun, bagaimana dengan keluarga yang bercerai? Perceraian berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga secara keseluruhan. Baik anak-anak maupun orangtua harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan suasana yang baru. Banyak anak yang berusaha dengan keras untuk bisa beradaptasi dengan kondisi baru tersebut. Valencia & Soetikno (2022) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fungsi keluarga dalam keluarga bercerai mempengaruhi self-esteem anak dan akan berpengaruh terhadap perkembangan anak di masa depan sehingga dibutuhkan fungsi keluarga yang baik untuk mencapai perkembangan anak secara maksimal.

 

Referensi:

 

Azra, F. N. (2017). Forgiveness dan Subjective Well-Being Dewasa Awal Atas Perceraian Orang Tua Pada Masa Remaja. Psikoborneo. 5(3), 294-302.

Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2008). Subjective WellBeing Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. Jurnal Psikologi, 35 (2), 194–212.

Manna, N. S., dkk. (2021). Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 6(1), 11-21.

Saragi, M. P. N., dkk. (2022). Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak. Jurnal Edukasi Nonformal, 3(2), 400–412.

Valencia, C., & Soetikno, N. (2022). Pengaruh Fungsi Keluarga terhadap Self-Esteem Remaja yang Memiliki Keluarga Bercerai pada Masa Anak. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 13191-13201.

 

https://dataindonesia.id/ragam/detail/perselisihan-jadi-sebab-utama-perceraian-diindonesia-pada-2022 (diakses pada 11 Oktober 2023)