ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 17 September 2023

 

Psikologi Untuk Orang Yang Tepat Di Tempat Yang Tepat

 

Oleh:

Garvin

Program studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

 

 

“Sepanjang sekolah, murid-murid harus diperiksa secara psikologis, mengenai cara kecerdasannya dalam berpikir, kecerdasannya dalam cara bekerja, wataknya (intelligentie, vaardigheid, karakter). Pemeriksaan ini digunakan untuk memberikan petunjuk supaya tiap-tiap murid dapat mencapai optimale prestatie yang mungkin dalam lingkungan pribadinya.”

 

Demikianlah sekutip pidato ilmiah yang disampaikan oleh Prof. dr. Slamet Iman Santoso (SIS) pada tahun 1952 di Universitas Indonesia. Melalui kutipan di atas, Prof. SlS memberikan saran bahwa sekolah-sekolah perlu melakukan pemeriksaan psikologis, baik secara kognitif maupun afektif, kepada para siswa. Menurut Prof. SIS, jika sekolah dan pendidik mengenali kecerdasan, bakat, dan kepribadian siswa-siswanya, maka guru akan lebih mudah untuk mengarahkan siswa mencapai prestasi yang optimal.

 

Mendidik Siswa yang Istimewa

Masukan ini disampaikan oleh Prof. SIS sebagai solusi dari keresahannya bahwa banyak siswa-siswa yang dididik tidak sesuai dengan keistimewaannya. Sebenarnya, dalam konteks pidato ini, keistimewaan yang Prof. SIS maksud adalah kecerdasan kognitif yang terwakili melalui skor IQ (intelligence quotient). Menurut Prof. SIS, siswa-siswa yang istimewa ini jarang diperhatikan dan diberikan kesempatan untuk memaksimalkan keistimewaannya. Ada dua alasan mengapa hal itu terjadi, yakni: (1) ada anggapan dalam masyarakat umum bahwa siswa yang mendapatkan percepatan pembelajaran akan merugikan siswa tersebut (1979 lihat hal. 15), dan (2) kekhawatiran bahwa hal ini akan memicu terjadinya intellectual aristocracy (1992).

 

Prof. SIS menjawab kedua alasan itu. Bagi beliau, anggapan bahwa siswa istimewa yang mendapatkan pembelajaran akan mengalami permasalahan psikologis adalah sekadar prasangka (1979). Kenyataannya, perlakuan istimewa pada siswa-siswa yang dianggap unggul tidak selalu memberikan konsekuensi negatif. Survei yang dilakukan oleh Lee, Olszewski-Kubilius, dan Thomson (2012) terhadap 1.526 remaja yang mengikuti program akselerasi menunjukkan persepsi kompetensi sosial yang sama baiknya dengan remaja secara umumnya. Mereka juga melaporkan adanya kepuasan dalam relasi sosial bersama sebaya, citra diri yang positif, dan tingkat depresi yang rendah. Hoogeveen, Hell, dan Verhoeven (2011) juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik sosial-emosional yang signifikan antara siswa akselerasi dan siswa non-akselerasi. Di sisi lain, temuan dari Suldo dan Shaunessy-Dedrick (2013) menemukan bahwa para siswa sekolah menengah yang mengikuti program akselerasi memang menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan siswa pada umumnya; tetapi riset ini juga menemukan bahwa siswa program akselerasi maupun siswa program reguler menunjukkan tingkat keberfungsian psikologis (seperti kepuasan hidup dan tingkat kecemasan sosial) yang sama, bahkan siswa program akselerasi berpotensi untuk lebih unggul dalam hal keberfungsian psikologis dan kesehatan mental. Artinya, tidak ada masalah dengan perlakuan yang istimewa terhadap siswa yang memang unggul secara intelektual. Adapun temuan-temuan tersebut sebenarnya mendukung pandangan Prof. SIS bahwa tidak ada masalah dengan pemberian tindakan khusus kepada siswa-siswa yang dianggap potensial. Sedangkan untuk alasan yang kedua, Prof. SIS menyatakan bahwa beliau sama sekali tidak bermaksud untuk membangun intellectual aristocracy, tetapi beliau hanya ingin mendidik siswanya dengan sempurna (1994).

 

Jika memang kedua sanggahan yang memberatkan pandangan Prof. SIS itu dapat dijawab, apakah pandangan beliau serta-merta masih relevan dengan zaman sekarang? Pada saat itu, Prof. SIS menyatakan bahwa para siswa harus diukur inteligensinya sehingga pendidik bisa mendapatkan skor IQ masing-masing siswa. Bertolak dari skor IQ inilah, siswa dapat dipilah berdasarkan keistimewaannya.

 

IQ dan Pengukuran Kecerdasan

Tercatat dalam sejarah perkembangan psikologi bahwa upaya pembuatan tes inteligensi yang pertama dilakukan oleh Francis Galton, seorang ahli statistik dan salah satu tokoh pioner psikometrika. Namun salah satu titik penting dalam pengukuran inteligensi terjadi pada sekitar tahun 1905, ketika Alfred Binet bersama Victor Henri dan Theodore Simon menyusun sebuah tes yang disebut sebagai "Binet-Simon Test". Tes ini berfokus pada pemeriksaan keterampilan verbal yang disusun untuk mengidentifikasi keterbelakangan mental pada siswa sekolah (Kaplan & Saccuzzo, 2018).

 

Meski tes kecerdasan menjadi populer dan luas digunakan, tetapi muncul banyak kritik tentang pengukuran kecerdasan dan penggunaan skor IQ. Kita tahu bahwa kemudian IQ bukanlah satu- satunya penentu kesuksesan seseorang, sehingga muncul berbagai konsep kecerdasan lainnya sebagai alternatif dari IQ seperti emotional intelligence dan adversity intelligence. Adapun IQ hanya menunjukkan derajat kecerdasan seseorang secara kognitif, sehingga tidak dapat menjadi satu- satunya prediktor kesuksesan seseorang.

 

Kecerdasan Majemuk

Pada tahun 1983, seorang psikolog dan akademisi Bernama Howard Gardner memperkenalkan sebuah konsep yang disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligence), melalui sebuah buku yang berjudul "Frames of Mind". Dalam buku itu, Gardner (1983) menyatakan bahwa terdapat delapan jenis kecerdasan yang berbeda, yakni:

 

1.     Kecerdasan linguistik,

2.     Kecerdasan logika / matematika,

3.     Kecerdasan spasial,

4.     Kecerdasan kinestetik,

5.     Kecerdasan musikal,

6.     Kecerdasan interpersonal,

7.     Kecerdasan intrapersonal, dan

8.     Kecerdasan naturalistik (alam).

 

Kemunculan konsep kecerdasan majemuk ini menantang konsep kecerdasan yang selama ini sudah ada pada saat itu, yang berfokus hanya pada kemampuan kognitif. Gardner berargumen melalui contoh, misalnya, seorang anak di sebuah pedesaan yang sangat ahli dalam berlayar atau seorang anak yang dapat membuat karya musik melalui pemrograman komputer; jika mereka menghasilkan skor IQ yang rendah dalam tes inteligensi, apakah mereka dapat dikategorikan tidak cerdas? Jika mereka tidak cerdas, tetapi mereka memiliki kompetensi yang tinggi dalam sebuah bidang yang menantang. Bagi Gardner, ini menunjukkan bahwa kecerdasan tidak dapat dijelaskan hanya melalui kemampuan kognitif saja, dan dengan demikian, kecerdasan pun seharusnya tidak hanya berupa satu faktor atau satu jenis tunggal saja.

 

Terlepas dari kritik yang muncul, namun konsep kecerdasan majemuk ini banyak diterima oleh banyak kalangan, termasuk dari praktisi pendidikan. Alih-alih memaksakan semua siswa untuk seragam dalam satu kemampuan yang sama, siswa justru perlu dikenali tipe kecerdasannya dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasannya itu. Sebenarnya, Prof. SIS juga secara tidak langsung memiliki pandangan yang sama dengan pengembangan siswa berdasarkan jenis kecerdasannya, sesuai dengan yang pernah beliau tulis:

 

“Tiap jenis pendidikan harus mengembangkan semua bakat pada anak didik dalam hak-hak anak masing- masing, supaya menjadi anggota masyarakat yang terhormat” (Santoso, 1979).

 

Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa Prof. SIS tidak menampikkan bahwa setiap siswa memiliki bakatnya masing-masing, sesuai dengan jenis kecerdasannya, meski beliau tidak menyebutkan istilah kecerdasan majemuk. Perlu diingat bahwa kutipan di atas berasal dari tulisan Prof. SIS pada tahun 1975, sedangkan Howard Gardner baru memperkenalkan istilah kecerdasan majemuk pada tahun 1983. Hal ini akan terlihat semakin jelas ketika kita membaca kutipan berikut yang juga ditulis oleh Prof. SIS pada naskah yang sama:

 

“Tiap manusia dapat dipandang sebagai memiliki sejumlah bakat: bakat menyanyi, mengarang, menguasai bahasa, menguasai ilmu pasti, membuat barang-barang dari kayu, dan sebagainya” (Santoso, 1979).

 

Tentu saja, bakat-bakat yang disebutkan di atas (sebagai contoh), adalah hal yang sama dengan kecerdasan majemuk; bakat menyanyi merupakan kecerdasan musikal, bakat mengarang dan menguasai bahasa berupakan kecerdasan linguistik, bakat menguasai ilmu pasti merupakan kecerdasan logika, dan membuat barang-barang dari kayu merupakan kecerdasan kinestetik. Jelas sekali bahwa sebenarnya Prof. SIS juga memahami perlunya mengenali jenis kecerdasan majemuk pada individu dan mengembangkannya, yang beliau sebut sebagai “bakat”.

 

Psikologi: Orang yang Tepat di Tempat yang Tepat

Dengan demikian, kita dapat memaknai bahwa slogan “the right man in the right place” yang pernah Prof. SIS sampaikan puluhan tahun silam memiliki makna yang luas. Meski pada saat itu, tahun 1952, beliau menjelaskan slogan tersebut melalui konsep IQ, tetapi sesungguhnya pandangan Prof. SIS tidak “IQ-minded”. Beliau memang menekankan pentingnya IQ, tetapi beliau juga menekankan pentingnya mengenali kecerdasan majemuk, yakni bakat yang terdapat pada masing-masing individu. Bahkan beliau menekankan bahwa sekolah perlu memiliki psikolog sehingga dapat mengenali bakat siswa:

 

“Perkembangan bakat-bakat ini dapat diikuti secara cukup teliti melalui ilmu psikologi. Oleh karena itu alangkah baiknya bila tiap-tiap sekolah mempunyai tenaga psikologi untuk mengikuti perkembangan murid-murid dan pengaruh pendidikan atas perkembangan bakat anak-anak.”

 

Bayangkan bila posisi-posisi strategis dalam berbagai sektor diisi oleh orang-orang yang tepat (the right man in the right place), maka negara kita akan dapat berkembang dengan lebih cepat. Setiap orang berkarya sesuai dengan bakatnya dan memaksimalkan potensinya, memberikan performa yang maksimal sesuai dengan porsinya. Namun, alih-alih kita membicarakan orang-orang dapat bekerja pada bidang yang sesuai dengan bakatnya, nampaknya kita perlu berpikir satu langkah ke belakang dulu, yakni kepada pendidikan, sebab ternyata 87% mahasiswa di Indonesia merasa salah jurusan (Guntur dalam Zulfikar; 2021, 26 November).

 

Di sinilah psikologi dibutuhkan. Sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental, psikologi dapat dimanfaatkan untuk mengenali bakat dan kecerdasan siswa, untuk kemudian dimaksimalkan sesuai dengan keistimewaannya, guna mencapai – mengutip istilah dari Prof. SIS - optimale prestatie, atau prestasi yang optimal.

 

Terakhir, saya hendak menuliskan ulang slogan yang menjadi pemicu berdirinya pendidikan psikologi di Indonesia, kali ini dengan lebih lengkap:

 

“[...] saya hendak mengatakan bahwa bila kita mempergunakan pemeriksaan psikologis sebagaimana saya terangkan di atas, [...] kita mendekati apa yang kita maksudkan, yaitu the right man in the right place, apapun tempatnya itu, dan menghindarkan the right man in the wrong place, the wrong man in the right place, dan the wrong man in the wrong place.”

 

Inilah semangat Prof. SIS yang dapat kita lanjutkan. Mari kita gunakan psikologi untuk mengenal bakat dan keistimewaan kita, kemudian “meletakkan” mereka di bidang yang sesuai dengan keistimewaannya. Dunia tidak membutuhkan jutaan orang yang seragam, dunia membutuhkan beragam manusia yang berkontribusi sesuai dengan kelebihannya masing-masing.

 

Referensi:

 

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books.

Hoogeveen, L., Hell, J. G., & Verhoeven, L. (2011). Social-emotional characteristics of gifted accelerated and non-accelerated students in the Netherlands. British Journal of Educational Psychology, 82(4), 585-605.

Kaplan, R.M., & Saccuzzo, D.P. (2018). Psychological testing: Principles, applications, and issues. Boston: Cengage Learning.

Lee, S., Olszewski-Kubilius, P., & Thomson, D.T. (2012). Academically gifted students' perceived interpersonal competence and peer relationships. Gifted Child Quarterly, 56(2), 90-104.

Santoso, S.I. (1980). Pembinaan watak tugas utama pendidikan. Jakarta: UI Press.

Santoso, S.I. (1992). Warna-warni pengalaman hidup R. Slamet Iman Santoso. Jakarta. UI Press.

Suldo, S.M., & Shaunessy-Dedrick, E. (2013). Changes in Stress and Psychological Adjustment During the Transition to High School Among Freshmen in an Accelerated Curriculum. Journal of Advanced