ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 14 Juli 2023
Ayah Ibu, Anak Bukanlah Investasi Masa Tuamu
Oleh:
Ludiah Septiani, Genta Yuda Nugraha, & Laila Meiliyandrie Indah Wardani
Fakultas Psikologi, universitas Mercu Buana
Akademik sebagai ajang bergengsi untuk tolak ukur keberhasilan
Proses pembelajaran secara akademik merupakan hal yang selalu ada di setiap sekolah. Mata pelajaran akademik sarat akan tolak ukur keberhasilan baik bagi siswa atau pun guru yang mengampu mata pelajaran tersebut. Namun, tidak secara merata seluruh mata pelajaran yang berkaitan dengan akademik dipandang sebagai suatu keberhasilan. Sebagian besar persepsi masyarakat memandang matematika dan IPA (fisika, kimia dan biologi) merupakan tolak ukur utama dalam pembelajaran akademik siswa di kelas. Padahal pada kenyataannya, mata pelajaran yang diampu oleh seluruh siswa berkontribusi dalam pemberian nilai dan pengurutan ranking kelas. Hingga saat ini masih banyak sekali orang tua yang menajdikan tinggi rendahnya nilai akademik anak sebagai tolak ukur keberhasilan di masa yang akan datang. Sekarang ini pendidikan hanya dilihat sebagai alat pemenuhan kebutuhan serta gengsi dengan mengedepankan aspek akademik saja.
Namun pada kenyataanya keberhasilan akademik tidak sesalu menjadi tolak ukur sebagai keberhasilan dalam hidup. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang dapat mendidik dan menimbulkan pengalaman kepada anak selama proses pembelajarannya. Pendidikan yang baik perlu mempertimbangkan minat, bakat, keinginan, inisiatif, rasa ingin tahu, dan kebebasan anak dalam menentukan apa yang ingin dipelajarinya.
Persepsi masyarakat terhadap tingkat keberhasilan siswa, membentuk pola pikir yang sama baik di sekolah atau pun di lingkungan rumah. Beberapa sekolah di Indonesia banyak sekali fenomena ketika siswa dinomor satukan ketika berhasil meraih juara di kejuaraan akademik dan siswa dengan kemampuan non akademik tidak mendapatkan dukungan sebesar dukungan sekolah terhadap siswa berprestasi akademik. Disamping dengan kemudahan akses masuk ke universitas karena prestasi yang diraih dan beberapa keuntungan lainnya, banyak orang tua yang menuntut sang anak meraih prestasi di non akademik tanpa mengembangkan potensi lain yang dimiliki oleh anak. Orang tua beranggapan bahwa sang anak dinilai cerdas jika mendapatkan nilai 100 di pelajaran matematika dan IPA yang akhirnya tuntuan tersebut secara turun temurun dan luas dihadapi oleh siswa-siswi sekolah baik sekolah dasar, menengah ataupun perguruan tinggi.
Potensi anak yang harus dikembangkan.
Berdasarkan salah satu pandangan atau teori dalam psikologi, yaitu teori konvergen, potensi anak dijelaskan sebagai suatu indicator penting pembentuk bakat yang telah ada saat lahir. Teori konvergen menyatakan manusia mengalami perkembangan dan pertumbuhan karena dipengaruhi faktor bakat dan lingkungan. Pada teori ini diakui bahwa saat manusia ke dunia, ia akan membawa bawaan potensi atau bakat dasar yang dapat dikembangkan (Ahmadi, 2016). Perkembangan terjadi ketika manusia berproses dan berinteraksi dengan lingkungannya, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami, maka potensi yang dimiliki akan semakin terasah.
Ahmadi (2016) menjelaskan bahwa jika potensi ini dikembangkan akan menjadi bakat yang actual, sedangkan potensi yang ada akan tetap ada dan terpendam jika tidak diasah dan dikembangkan. Selain itu, Ghufron dan Risnawita (2014) berpendapat bahwa setiap individu memiliki karakteristiknya masing-masing yang menyebabkan setiap individu tidaklah sama. Selalu ada ciri khas yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Hal seperti ini yang harus menjadi fokus orang tua dalam mendidik dan mengenali putra putrinya. Saat anak dituntut untuk melakukan hal yang tidak disenangi karena anggapan bahwa anak lainnya mampu, akan menimbulkan dampak psikologis dan tekanan pada siswa. Karena potensi yang dimiliki anak lainnya mungkin tidak sama dengan potensi yang dimiliki oleh anaknya. Saat anak menghadapi tuntutan ini, potensi yang dimilikinya akan terus terkubur tidak dikembangkan, walaupun pada kenyataannya jika potensi tersebut dikembangkan akan menjadi bakat yang baik dan menghasilkan.
Saat pandangan orang tua terbuka mengenai potensi lain yang dimiliki sang anak dan mendampingi sang anak, akan membantu anak untuk mengembangkan kemampuan sang anak dan memandang dunia dengan pandangan berbeda, bahwa kesuksesan tidak hanya dinilai dengan nilai dan matematika, tapi bagaimana sang anak menikmati kebahagiaannya dengan cara yang positif.
Peran dari orang tua merupakan salah satu faktor pendukung yang penting bagi anak dalam mengembangkan kemampuan baik secara akademik atau non-akademik. Dengan adanya peran orang tua maka akan menjadi pemicu serta semangat pendorong bagi anak untuk mengembangkan kemampuan serat bakat yang ada dalam dirinya. Secara garis besar terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu anak dalam menemukan minat serta bakatnya, yaitu:
1. Mengekplorasi kebutuhan serta ketertarikan anak
Ketika usia pertumbuhan serta perkembangan anak, sebagai orang tua harus mau mencoba beberapa kegiatan yang baru kepada anak. Hal ini dilakukan untuk membantu anak mengetahui apa yang ia sukai dan tidak sukai. Dengan melakukan ekspolasi anak juga akan mengetahui banyak hal-hal baru dan megembangkan pengelaman mereka.
2. Memberikan stimulasi yang fokus pada perkembangan anak
Pemberian stimulasi penting dilakukan oleh orang tua sedari dini. Pemberian stimulasi yang sesuai dengan usia anak akan membantu proses tumbuh kembang mereka sehingga menjadi lebih baik. Pemberian stimulasi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam kegiatan disesuaikan dengan usia dan aspek apa saja yang hendak ditingkatkan dari anak.
3. Memberikan pilihan dan ruang untuk mencoba melakukan hal baru
Anak perlu diberikan kebebasan dalam melakukan serta memilih hal-hal yang akan mereka lakukan. Dengan memberikan kepercayaan untuk anak untuk memilih apa yang akan meraka lakukan akan menumbuhkan rasa kepercayaan dalam diri anak.
4. Mengajak anak melakukan evaluasi mengenai apa yang ia suka, tidak suka, dan perlu dikembangkan
Evaluasi perlu dilakukan oleh orang tua setiap kali anak melakukan kegiatan baru. Hal ini perlu dilakukan agar orang tua mengetahui bagaimana perasaan anak mengenai hal-hal yang sebelumnya dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menanyakan perasaan anak atau meminta anak untuk bercerita mengenai perasaannya. Dengan melakukan evaluasi orang tua pun akan mengetahui apa saja hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan untuk anak.
5. Memberikan fasilitas kepada anak untuk kegiatan yang disukainya
Orang tua memberikan kesempatan dan fasilitas yang mendukung kepada anak untuk dapat mengeskplorasi lebih dalam mengenai aktivitas yang disukainya. Dengan memenuhi kebutuhan anak maka akan membantu anak untuk lebih mudah mempelajari hal-hal yang disukai. Selain itu juga hal ini dapat membuat anak merasa bahwa orang tua memberikan dukungan terhadap hal yang mereka sukai.
Referensi:
Ahmadi, A.. 2016. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu
Ghufron, M. N., & Risnawita, R. 2014. Gaya Belajar Kajian Teoretik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.