ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 14 Juli 2023
Bagaimana Seragam Sekolah Membentuk Identitas Siswa dan Etos Sekolah?
Oleh:
Rachel Zemira Ardania & Penny Handayani
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta
Anak bayi yang baru dilahirkan pada beberapa bulan pertama kehidupannya tampak tidak sadar diri atau bisa dibilang tidak tahu apa-apa, tetapi pada usianya dua tahun, mereka sudah dapat mengembangkan kesadaran dirinya sebagai seorang pribadi. Pada tahun ketiga, mereka sudah menyadari dan menerima dimana sebagai individu yang harus mengikuti segala aturan dan ketentuan yang ada di lingkungan sosialnya, untuk dapat mengevaluasi perilaku mereka. Mereka juga sudah dapat menunjukan rasa malu apabila terjadi perbedaan di antara dirinya dengan orang lain, dan mereka sudah mulai mengalami emosi yang lainnya seperti rasa bangga, rasa bersalah, dan lain sebagainya (Lewis, 2002).
Pada suatu saat anak-anak akan mulai keluar dari lingkungan keluarganya dan mulai berbaur dengan lingkungan sosialnya, seperti sekolah. Mereka akan diperhadapkan dengan orang-orang yang lebih luas dan perlu mengembangkan rasa identitas sosial mereka sendiri, yang dapat membedakan pribadinya dengan pribadi orang lain. Persepsi yang ada tentang diri mereka sendiri dipengaruhi dengan caranya mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain diluar yang semakin banyak. Mereka mengevaluasi perbandingan tersebut dengan cara mereka melihat orang lain menilai mereka (Erikson, 1968). Bagi sebagian besar anak, sekolah merupakan salah satu tempat penting bagi perkembangan pembentukan identitas mereka. Anak-anak mengembangkan berbagai identitas sosial pada saat mereka memasuki masa sekolah, sebagai contoh identitas yang berkaitan dengan gender. Bukan hanya menempatkan diri di kelompok gender seperti perempuan dan laki-laki, tetapi prosesnya lebih kompleks. Dalam lingkungan tersebut mereka juga dapat mempelajari tentang maskulinitas dan feminitas dan memposisikan diri dalam kaitannya dengan kemungkinan-kemungkinan dalam kelompok mereka tersebut. Ketika anak-anak merekonstruksi identitas gender sosial yang telah mereka kembangkan selama bertahun-tahun prasekolah (Lloyd dan Duveen, 1992). Pembentukan identitas sebagai siswa melibatkan kompleksitas interaksi antara faktor internal dan eksternal (Oswalt, Lerner, & Fisher, 2016). Faktor internal meliputi persepsi diri, nilai-nilai, kepercayaan, dan tujuan siswa, sedangkan faktor eksternal meliputi pengalaman interaksi dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah.
Menurut Erikson (dalam Luyckx et al., 2018), identitas sebagai siswa terbentuk dari dua tahap: eksplorasi dan konsolidasi. Pada tahap eksplorasi, siswa mencari informasi tentang diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar mereka, sementara pada tahap konsolidasi, mereka mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam identitas mereka yang baru. Terdapat penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Drajati (2017) menunjukan bahwa pengalaman belajar dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi pembentukan identitas siswa. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa siswa-siswi yang merasa lebih termotivasi untuk belajar memiliki identitas yang lebih positif dan lebih berkomitmen untuk dapat mencapai tujuan akademik mereka. Terdapat faktor eksternal selain adanya faktor internal, seperti pengalaman kekerasan dan diskriminasi di sekolah dapat menghambat pembentukan identitas siswa yang positif (Patel et al., 2019).
Di Indonesia, kasus kekerasan dan diskriminasi di sekolah masih terjadi. Sebagai contohnya, kasus penganiayaan terhadap siswa di salah satu SMA di Jakarta pada tahun 2019 (Kompas, 2019) menunjukan betapa pentingnya mencegah dan menangani kekerasan di sekolah agar pembentukan identitas siswa dapat berjalan dengan baik. Secara keseluruhan, pembentukan identitas sebagai siswa melibatkan kompleksitas interaksi antara faktor internal dan eksternal. Pengalaman positif di sekolah dapat meningkatkan identitas yang positif siswa, sedangkan pengalaman kekerasan dan diskriminasi dapat menghambat pembentukan identitas positif mereka.
Pembentukan identitas pada siswa dapat meningkatkan etos sekolah yang memang dibangun dari setiap individu yang ada di sekolah tersebut. Tidak hanya siswa-siswinya tetapi juga guru dan lingkungan sosial yang lainnya. Etos sekolah adalah seperangkat nilai, keyakinan, dan sikap yang dibagikan, yang dapat disampaikan melalui kebijakan, praktik, dan tradisi sekolah (Robinson,2018). Etos sekolah bukan berarti dapat diukur dengan besar atau tingginya gedung sekolah, usia sekolah tersebut, atau dengan banyaknya ruang yang tersedia di kelas tersebut, tetapi dapat diukur dengan bagaimana sekolah dapat berfungsi dengan baik sebagai sebuah organisasi sosial. Hal ini juga didukung oleh John Wilson. Ia juga berpendapat bahwa seragam sekolah yang digunakan oleh para siswa-siswinya dapat membantu setiap sekolah untuk mengesankan etos sekolah pada siswa-siswinya.
Etos sekolah dapat digambarkan dengan adanya ketaatan dalam menaati segala peraturan di sekolah tersebut, salah satunya adalah menggunakan seragam sekolah yang dapat membangun dan memperlihatkan etos sekolah. Mengenakan seragam sekolah menjadi lambang kehormatan tergantung pada budaya dan konteks sosial dimana seragam sekolah tersebut digunakan. Masyarakat menganggap bahwa memakai seragam sekolah adalah sebuah penghormatan dan kebanggan, sementara ada juga masyarakat lain yang menganggapnya sebagai kewajiban atau bahkan sebagai hal yang menjengkelkan.
Memakai seragam sekolah juga termasuk mempromosikan rasa kesetaraan dan kesatuan di antara para siswa, karena semua orang berpakaian dengan cara yang sama dan tidak ada yang menonjol berdasarkan pakaian mereka (Brutscher, 2020). Dalam penelitian Brutscher (2020), ditemukan bahwa memakai seragam sekolah dapat memperkuat identitas siswa dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam kehidupan sekolah. Mengenakan seragam sekolah dapat menjadi lambang kehormatan ketika hal tersebut dikaitkan dengan etos sekolah yang positif yang menekankan kebanggan, disiplin, dan rasa kebersamaan. Ketika siswa merasa bahwa seragam mereka mewakili afiliasi mereka dengan sebuah sekolah yang mereka banggakan menjadi bagian dari mereka, hal tersebut dapat menjadi simbol identitas mereka dan sumber kebanggan.
Di Indonesia sendiri, beberapa sekolah menganggap mengenakan seragam sebagai suatu kehormatan dan bentuk identitas siswa. Menurut sebuah artikel dari CNN Indonesia, seragam sekolah dianggap sebagai “simbol identitas” dan “cara untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas yang sama”. Selain itu juga seragam sekolah dianggap sebagai “cara untuk menunjukkan kepatuhan dan disiplin siswanya”. Salah satu contoh sekolah yang menganggap seragam itu penting adalah SMA Labschool Jakarta. Mereka mengenakan seragam sebagai salah satu peraturan wajib yang harus ditaati oleh semua siswanya. Peraturan tersebut menyatakan bahwa siswa harus mengenakan seragam sekolah dengan rapi, lengkap, dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun juga masih terdapat masyarakat di Indonesia yang tidak setuju dengan kewajiban mengenakan seragam sekolah. Sebuah artikel dari Kompas.com mencatat bahwa beberapa siswa dan orang tua merasa bahwa seragam sekolah menyulitkan dan tidak nyaman. Mereka juga menganggap bahwa mengenakan seragam sekolah tidak selalu menjamin keamanan dan kedisiplinan.
Seragam sekolah membantu meningkatkan etos sekolah adalah identitas siswa terjadi pada saat masa-masa anak tersebut berada di lingkungan sekolah. Ia akan lebih cepat menangkap identitas mereka dengan bergaul dengan lingkungan sosialnya. Identitas yang mereka adopsi tersebut diterapkan dari pandangan orang lain terhadap diri mereka sendiri. Apabila mereka menangkapnya secara positif maka identitas yang ditimbulkan dari anak tersebut akan positif, tetapi apabila ditangkap secara negatif, maka akan terbentuk identitas yang negatif juga. Selain itu juga identitas siswa dapat membantu meningkatkan etos sekolah, dengan siswa memakai seragam sekolah. Memakai seragam sekolah akan mencerminkan sikap yang disiplin, lambang penghormatan, dan kebanggaan bagi sekolahnya itu sendiri.
Sekolah akan dianggap sebagai salah satu organisasi sosial yang dapat mengembangkan dan juga meningkatkan prestasi anak-anak. Adanya identitas dan etos sekolah yang baik maka sekolah akan digemari dan diminati oleh anak-anak di Indonesia. Minat belajar pada siswa-siswinya juga akan meningkat dengan adanya pandangan bahwa sekolah merupakan organisasi sosial yang baik.
Referensi:
Brutscher, P. B. (2020). The impact of school uniforms on student identity and engagement. Journal of Education and Social Policy, 7(1), 32-38.
CNN Indonesia. (2020). Dalam Dua Hari, Dua Siswa di Sumatera Putus Asa Gantung Diri. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200911131023-20-544956/dalam-dua-hari-d ua-siswa-di-sumatera-putus-asa-gantung-diri
Drajati, N. A. (2017). The Influence of Learning Experiences and School Environment on the Formation of Student Identity. Journal of Education and Practice, 8(16), 102-109.
Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and crisis. Kompas. (2019). Polisi Tahan Pelaku Penganiayaan di SMA, Ini yang Dilakukannya ke Korban. Retrieved from https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/07/18510411/polisi-tahan-pelaku-penga niayaan-di-sma-ini-yang-dilakukannya-ke-korban
Lewis, M. (2002). Early emotional development. In A. Slater and M. Lewis, Introduction to Infant Development, pp. 192–209. Lloyd, B. and G. Duveen (1992). Gender Identities and Education: The impact of starting school.
Luyckx, K., Goossens, L., Soenens, B., Beyers, W., & Vansteenkiste, M. (2018). Identity statuses in adolescence: Measurement, development, and correlates. In G. R. Adams & M. D. Berzonsky (Eds.), The Blackwell Handbook of Adolescence (pp. 275-300).
Oswalt, S. B., Lerner, R. M., & Fisher, C. B. (2016). Identity development in adolescence. In Handbook of Child Psychology and Developmental Science (pp. 765-800).
Patel, S., Baral, D., & Nwizu, N. N. (2019). School-based violence and its effect on students’ academic performance and mental health: A systematic review
Robinson, S. (2018). School ethos. In S. Robinson, A. Hewitt, & E. Oldfield (Eds.), Exploring education studies: Key concepts and contemporary issues.