ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 11 Juni 2023
Kepedulian Untuk Rumah Kita Bersama:
Respon Terhadap Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup
Oleh:
Clara R.P. Ajisuksmo1,2, Teresa M. Rosario2,
Yeremias S.I. Soge2, Deodatus S. Pradipto2, & Maria V. Elmeresa2
1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pengabaian dan kelalaian umat manusia dalam melindungi serta memelihara bumi sebagai rumah umat manusia mengakibatkan bencana ekologis. Kedamaian dan keamanan hidup umat manusia menjadi terganggu dan terancam. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) melaporkan pada tahun 2018 terjadi 2.572 kejadian bencana. Angka kejadian bencana meningkat dari tahun ke tahun menjadi 3.768 pada tahun 2019, 4.649 pada tahun 2020 dan 5.402 pada tahun 2021. Kerugian besar dialami baik aspek materi maupun nonmateri termasuk di dalamnya korban jiwa, orang hilang, serta kerusakan tempat tinggal dan fasilitas umum pada setiap kejadian bencana (Walhi, 2020).
Banjir bandang terjadi ketika curah hujan sangat tinggi, dan kondisi tanah yang tidak mampu menyerap air serta hambatan adanya sampah pada aliran sungai atau bangunan yang dibangun di bantaran sungai. Penebangan pohon secara liar juga termasuk faktor penyebab terjadinya banjir bandang. Tanah longsor terjadi karena pengaruh gravitasi yang mempengaruhi daerah miring tanah, namun perubahan fungsi tanah oleh manusia membuat tanah menjadi tidak stabil dan berpotensi longsor (Pramono, dkk., 2017). Napitupulu, dkk. (2018), menyatakan eksploitasi lingkungan hidup merupakan bentuk kekerasan terhadap alam semesta yang berkontribusi pada fenomena ekologis.
Bencana ekologis terjadi akibat keterlibatan manusia yang serakah dan tidak peduli dalam menjaga serta merawat alam sekitar. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, dan pencemaran lingkungan merupakan contoh dari bencana ekologis. Selain merusak alam dan merugikan perekonomian, bencana ekologis juga merenggut hak asasi, kedamaian dan, keamanan umat manusia. Ketidakpedulian umat manusia serta ketidaktegasan pemerintah terhadap upaya perlindungan dan pelestarian bumi merupakan faktor utama penyebab bencana ekologis. Perubahan fungsi tanah, penebangan pohon secara liar, kebiasaan membuang sampah di sungai, serta pembangunan rumah di bantaran sungai, merupakan contoh ulah manusia yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap pelestarian bumi.
Perkembangan teknologi membuat manusia menjauhi hubungan harmonisnya dengan alam. Struktur hierarkis menempatkan manusia di atas alam sehingga menguasai alam secara semena-mena. Di era modern saat ini, alam dieksploitasi menggunakan teknologi atau alat-alat yang dikembangkan melalui ilmu pengetahuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia tidak mampu mengendalikan keinginan dan keserakahannya sehingga gagal dalam mengendalikan dan mengelola pemanfaatan teknologi buatannya yang akhirnya berdampak buruk dan merusak alam. Meskipun sumber daya alam yang tersedia di bumi banyak, tetapi jumlahnya tetap terbatas dan proses pembaharuannya membutuhkan waktu lama sehingga pemanfaatannya harus benar – benar dijaga dan dikelola secara baik.
Selain itu penyebab terjadinya kerusakan alam atau lingkungan hidup adalah pandangan atau paradigma tentang pembangunan ekonomi yang tidak bijak dan hanya mengarah kepada kemakmuran manusia (Borrong, 1999). Kemakmuran manusia cenderung diukur dari banyaknya keinginan yang tidak pernah terpuaskan dan bukan lagi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan, sehingga melahirkan budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme menuntut proses produksi harus ditingkatkan untuk dapat mengimbangi permintaan pasar. Dalam proses produksi diperlukan bahan baku dari alam yang kemudian dieksploitasi untuk menghasilkan energi. Akar permasalahan dari penrusakan dan krisis lingkungan hidup dapat bersumber dari krisis moral manusia.
Dari berbagai penelitian terdahulu lingkungan hidup secara signifikan berdampak pada kehidupan dan kesejahteraan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Kemarau panjang akan berakibat pada kekeringan, kebakaran hutan, dan cuaca panas ekstrim, sementara curah hujan yang lebat dan naiknya permukaan laut serta sampah yang tidak diolah dengan baik akan menyebabkan banjir (Petrasa, 2016). Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan masa tanam dan panen. Suhu panas yang tinggi dapat mempengaruhi ketersediaan air yang dapat menghambat produktivitas pertanian. Tambahan pula perubahan iklim dapat menjadi penyebab penyebaran hama dan penyakit tanaman yang mempengaruhi pertanian. Hal ini berarti bahwa iklim akan memberi dampak negatif terhadap ketahanan pangan (Harvian & Yuhan, 2020; Nurhasan, dkk., 2021) dan lebih jauh, perubahan iklim akan mempengaruhi meningkatnya kasus gizi buruk dan stunting pada anak-anak di bawah usia lima tahun. Lingkungan yang tidak bersih dan perubahan iklim juga dapat menjadi pendorong perkembangan pesat dari bakteria, virus, jamur dan parasit yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti malaria, filariasis, chikunguya, dan demam berdarah (Raksanagara, dkk., 2015), serta diare akibat kontaminasi air minum (Nuha, dkk., 2022).
Dari uraian di atas menjadi pertanyaan kepada kita semua, apa yang sudah kita lakukan dalam menjaga dan merawat bumi sebagai rumah kita bersama? Apakah kita masih membuang sampah sembarangan? Tidak bijaksana dalam menggunakan air atau plastik?
Referensi:
Borrong, R.P. 1999. Etika Bumi Baru: Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Harvian, K.H.& Yuhan, R. J. 2020. Kajian perubahan iklim terhadap ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Official Statistics 2020 Pengembangan Official Statistics dalam mendukung Implementasi SDG’s. DOI: https://doi.org/10.34123/semnasoffstat.v2020i1.593
Napitupulu, N.D., Munandar, A., Redjeki, S. & Tjasyono, B. 2018. Ecotheology dan Ecopedagogy: Upaya mitigasi terhadap eksploitasi alam semesta. Voice of Wesley. Jurnal Ilmiah Musik dan Agama, 1 (2): 1-11. DOI: https://dx.doi.org/10.36972/jvow.v1i2.9
Nuha, N.U., Yusniar Hanani Darundiati, Y.H. & Budiyono, B. 2022. Hubungan Cuaca sebagai Faktor Risiko Kejadian Diare di Kota Administratif Jakarta Timur Tahun 2015-2019. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 2(1): 12-21. DOI: 10.14710/mkmi.21.1.12-21
Petrasa W. 2014. Bencana Ekologis Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global dan Upaya Peredaman Risiko Bencana. https://bpbd.bulelengkab.go.id/ informasi/ detail/ artikel/bencana-ekologi
Pramono, M. F., Lahuri, S. & Ghozali, M. 2017. Penerapan Manajemen Krisis dalam Pengelolaan Bencana Longsor Banaran, Pulung, Ponorogo. HADIMUL UMMAH. Journal of Social Dedication, 1 (1), 1-21
Raksanagara, A., Arisanti, N. & Rinawan, F. 2015. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kejadian Demam Berdarah Di Jawa-Barat. Jurnal Sistem Kesehatan, 1(1): 43-47. https://doi.org/10.24198/jsk.v1i1.10339
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). 2020. Tinjauan Lingkungan Hidup 2020. Menabur Invenstasi Menuai Krisis Multidimensi. Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI