ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 11 Juni 2023
Minoritas dalam Minoritas:
Derita Autisme Gender Dysporia
Oleh:
Sonia, William, Mega Widiyani, & Setiawati Intan Savitri
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Disforia gender adalah suatu kondisi yang bertentangan antara jenis kelamin dengan identitas gender pada orang tersebut, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri dan konflik pada batin. Jenis kelamin adalah jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada seperangkat atribut biologis pada manusia dan hewan. Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tersebut dapat dilihat dari alat kelamin serta perbedaan genetik, termasuk fitur fisik dan fisiologis termasuk kromosom, ekspresi gen, kadar dan fungsi hormon, dan anatomi reproduksi atau seksual. Jenis kelamin hanya terdiri dari dua kategori, yakni laki-laki dan perempuan, atau pada hewan sering disebut jantan dan betina. Secara biologis, jenis kelamin perempuan memiliki segala fitur fisiologis yang memungkinkannya memiliki ovarium dan menghasilkan sel telur. Sebaliknya, jenis kelamin laki-laki memiliki testis dan dapat menghasilkan sperma. Dari segi kromosom, kromosom jenis kelamin perempuan biasanya memiliki kromosom XX, sedangkan jenis kelamin laki-laki biasanya memiliki kromosom XY. Semua jenis kelamin dalam zigot, atau sel telur yang telah dibuahi, berasal dari dua kromosom seks yang berbeda. Kedua jenis kelamin memiliki semua kelas hormon reproduksi seperti estrogen, progesteron dan testosteron, meskipun pada tingkat yang berbeda. Sedangkan identitas gender merupakan perasaan internal seseorang tentang diri sendiri, baik sebagai wanita, pria, atau bahkan bukan keduanya. Sebagai contoh, perempuan tak selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, tapi bisa juga ia menandai dirinya sebagai laki-laki atau bukan keduanya.
Seseorang yang mengalami disforia gender merasa ingin menyelami identitas gender yang berkebalikan dengan jenis kelamin yang secara biologis melekat sejak lahir meskipun kondisi lingkungan sekitar tidak mendukung. Seseorang yang memiliki disforia gender sering disibukkan dengan penampilan baru pada awal masuk ke transisi kehidupan “baru”. Disforia gender dengan transgender adalah dua hal yang berbeda. Disforia gender merupakan situasi dimana seseorang merasa tidak nyaman dengan jati dirinya atau bisa dikatakan “kebingungan gender”. Sedangkan transgender adalah seseorang yang berhasil mengganti fitur tubuh mereka dengan identitas gender yang dirasa nyaman bagi psikologisnya. Meski tidak semua transgender dapat mengalami disforia gender tetapi ada beberapa transgender yang mengalami kondisi ini. Transgender yang berada dalam lingkungan yang supportif dan pintar mengendalikan tekanan, akan terhindar dari stress. Namun berbeda ketika transgender berada dalam lingkungan yang keliru dalam merespon situasi. Depresi yang berat, putus asa, bahkan keinginan untuk bunuh diri dapat menjadi efek dari disforia gender sendiri. Terlepas dari latar belakangnya, seseorang disforia gender yang memiliki masalah mental layak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal seperti psikoedukasi, psikofarmaka dan psikoterapi. Melakukan evaluasi terlebih dahulu sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh dampak dari gangguan mental yang dihadapi. Setelah itu dilakukan psikoedukasi guna untuk mengetahui keluarga mengetahui keadaan gangguan mental tersebut yang kemudian akan dilakukan edukasi dan tahap terakhir adalah memberikan obat-obatan atau psikofarmaka.
Diantara orang-orang yang menghadiri klinik identitas gender, sebuah bukti menunjukkan prevelansi autisme lebih tinggi. Sebuah penelitian dengan menggunakan Grounded Theory dan pendekatan kualitatif, dikumpulkan sepuluh orang dewasa dengan disforia gender dan autisme dengan melakukan semi terstruktur wawancara. Ada sebuah kasus autisme dalam mengatasi disforia gender. Sebenarnya kasus autisme dengan disforia gender sangat jarang terjadi tetapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan gangguan komunikasi, interaksi sosial, minat, perilaku dan aktifitas yang berulang dan terbatas. Rasa takut akan terus menerus akan permusuhan dan perbedaan karena memiliki identitas yang terstigmatisasi telah menjadi bagian dari diri mereka, sedangkan sebuah konflik tetap tinggal selama mereka mengarungi lingkungan sosial. Tetapi terkadang faktor autisme bisa menjadi faktor pelindung dalam pemahaman peserta autisme. Untuk menangani dan memahami disforia gender dengan autisme agar dapat dikembangkan perlu adanya keterlibatan sebuah kerangka teoritis tentatif tentang proses umum. Melalui pengalaman tersebut ditangkap dengan kategori inti, kesesuaian versus konflik.
Konklusi pada kasus autisme pada disforia gender menyoroti pada kerentanan populasi terhadap perilaku isolasi, harga diri yang dianggap rendah, stigma, dieskriminasi dan sebagai minoritas di dalam minoritas sehingga memiliki kesehatan mental yang buruk. Dari sebuah penindasan, transisi membawa ketenteraman sehingga adanya keterlibatan dalam peningkatan kesejahteraan yang lebih besar dengan orang lain dan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Karena memiliki dua identitas yang terstigma maka akan mendatangkan rasa takut pada permusuhan, perbedaan dan “kepalsuan” ketika melekatnya biologis disforia gender tetap ada saat mereka menavigasi dunia sosial. Dalam mendiskusikan masalah gender dan autisme, layanan kesehatan harus lebih proaktif untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi secara cepat dan baik. Selain itu dukungan sosial juga penting karena di fasilitasi untuk populasi seperti ini, terutama hubungannya dengan transgender lainnya. Autism Spectrum Disorder atau spektrum gangguan autisme adalah gangguan seumur hidup yang dapat mempengaruhi cara seseorang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Individu yang mengalami spektrum gangguan autisme memiliki tingkat kapasitas intelektual yang beragam. Banyak orang autisme yang menjadi sangat pendiam, pemalu bahkan introvert. Masalah seperti ini bisa saja tidak terlihat dimata orang lain. Seseorang yang mengalami autisme menghabiskan hidupnya dengan bertanya-tanya mengapa saya “berbeda” diselimuti dengan rasa takut dengan perasaan itu. Mengerikan menjadi berbeda, tetapi diagnosis ini membuat individu tersebut dapat berusaha untuk menjelaskan dan berhenti berpikir menjadi berbeda.
Referensi:
CNN. (2020). Mengenal Gender Dysphoria dan Faktor Penyebabnya. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya- hidup/20200214195409-284-474836/mengenal-gender- dysphoria-dan-faktorpenyebabnya#:~:text=Gender%20dysphoria%20adalah%20ko ndisi%20pertentangan,batin%20atau%20ketidaknyamanan% 0dalam%20diri
Coleman-Smith, R.S., Smith, R., Milne, E., & Thompson, A. R. (2020). ‘Conflict versus Congruence’: A Qualitative Study Exploring the Experience of Gender Dysphoria for Adults with Autism Spectrum Disorder. Journal of Autism and Developmental Disorder. 50, 2643–2657 https://doi.org/10.1007/s10803-019-04296-3
Saleh. N. (2020). Masalah dengan Tethering Gender Dysphoria dan Autisme. https://id.approby.com/masalah-dengan-tethering-gender-dysphoria-dan-autisme/
Salim. M. (2022). Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin, Ketahui Definisi dan Sifatnya. https://www.liputan6.com/hot/read/5135090/perbedaan- gender-dan-jenis-kelamin-ketahui-definisi-dan-sifatnya.
CNN. (2022). 7 Jenis Identitas Gender yang Perlu Diketahui Selain Non-biner. https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/gaya- hidup/20220822201926-284-837756/7-jenis-identitas-gender- yang-perlu-diketahui-selain-non-biner/amp