ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 08 April 2023

 

Hukuman Fisik Tidaklah Efektif

 

Oleh:

Yuliana Anggreany

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Menasehati anak terkadang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, seringkali membutuhkan pengulangan. Ketika akhirnya anak memahami apa yang seharusnya/ sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan, terkadang mereka juga memilih untuk tidak melakukan sesuai dengan apa yang seharusnya/ sebaiknya mereka lakukan tersebut. Terlebih lagi ketika usia anak masih kecil, ketika apa yang diinginkan tidak dapat diperoleh ataupun harus melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, dapat saja berujung menjadi pertengkaran ataupun tantrum pada anak. Padahal sebenarnya terkadang konflik tersebut terjadi karena anak ingin mengembangkan kemandirian.

 

Semakin anak bertumbuh besar, mereka akan semakin ingin untuk menjadi mandiri, tidak lagi bergantung pada bantuan orang dewasa. Ketika anak berusia 18 bulan – 3 tahun, anak berada pada tahap autonomy vs shame and doubt (berdasarkan teori psikososial Erikson) (Papalia, & Martotell, 2014). Anak-anak berusia 1-2 tahun mencoba untuk melakukan segala sesuatunya secara mandiri, tidak hanya berjalan, tapi juga makan dan berpakaian sendiri, serta melakukan eksplorasi terhadap dunia. Oleh karena itu anak harus diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemandiriannya, namun demikian di sisi lain kebebasan yang tidak ada batasannya bukanlah hal yang baik. Orang dewasa perlu untuk menetapkan batasan yang tepat, sehingga rasa malu dan ragu-ragu (shame and doubt) dapat membantu anak untuk mengenali batasan tersebut.

 

Batasan dan peraturan adalah hal yang baik untuk anak, karena kebebasan yang tidak terbatas dapat membuat anak nantinya kesulitan untuk mematuhi aturan yang ada di masyarakat. Akan tetapi cara untuk menerapkan batasan ataupun peraturan juga penting. Apakah hukuman fisik adalah cara yang tepat untuk menerapkan batasan atau aturan?

 

Hukuman Fisik itu apa?

Hukuman fisik adalah penggunaan kekuatan fisik dengan intensi untuk menyebabkan anak mengalami sakit ataupun ketidaknyamanan untuk memperbaiki atau menghukum perilaku anak. Hukuman fisik biasanya melibatkan perilaku memukul, menampar ataupun memukul menggunakan benda keras (seperti sabuk/ ban pinggang, tongkat, ataupun benda lainnya). Hukuman fisik juga meliputi memaksa anak untuk berlutut, duduk atau berdiri dalam posisi yang tidak nyaman ataupun di atas benda yang menyakitkan (Alla, 2021)

 

Dampak Hukuman Fisik

Hukuman Fisik dapat berdampak baik secara fisiologis maupun psikologis. Anak tidak hanya mengalami kesakitan fisik, kesedihan, ketakutan, kemarahan, malu dan merasa bersalah, tetapi perasaan terancam tersebut juga dapat menyebabkan stress psikologis dan aktivasi sistem saraf yang berperan dalam menghadapi bahaya. Anak yang pernah mengalami hukuman fisik cenderung menunjukkan reaktivitas hormonal yang tinggi terhadap stress, sistem biologis yang berlebihan, meliputi sistem saraf, kardiovaskular, dan sistem nutrisional, serta perubahan pada struktur dan fungsi otak (WHO, 2021).

 

Terlepas dari banyaknya penerimaan terhadap pemberian hukuman dengan memukul bokong, perilaku tersebut berhubungan dengan fungsi otak yang atipikal/ tidak umum, seperti yang diketemukan pada pelecehan anak yang lebih parah. Oleh karena itu, hukuman fisik yang lebih ringan bukan berarti dampaknya tidak berbahaya.

 

Hukuman fisik dapat memberikan dampak yang dapat dengan segera dirasakan anak,  namun dapat juga memberikan dampak jangka Panjang. Berikut ini dampak-dampak dari hukuman fisik:

 

-       Sakit fisik.

Sakit fisik yang parah, cacat fisik jangka panjang ataupun kematian. Ataupun sakit fisik yang dikarenakan sistem biologis yang berlebih, meliputi kanker, masalah berkaitan dengan alcohol, migrain, penyakit kardiovaskular, radang sendi dan obesitas yang berlanjut sampai dewasa (WHO, 2021).

 

-       Kesehatan mental.

Kesehatan mental yang buruk meliputi gangguan perilaku dan kecemasan, depresi, keputusasaan, harga diri rendah, melukai diri dan percobaan bunuh diri, ketergantungan alcohol dan obat-obatan, permusuhan, dan ketidakstabilan emosional, yang dapat berlanjut ke masa dewasa (WHO, 2021).

 

-       Meningkatkan penerimaan dan penggunaan bentuk-bentuk lain kekerasan (WHO, 2021).

 

-       Perilaku sosial.

Hukuman fisik diasosiasikan dengan perilaku agresi pada anak dan perilaku antisosial lainnya (terhadap teman sebaya, saudara, dan orang dewasa) (Smith, 2006).

 

-       Kemampuan kognitif.

Ada 7 studi yang menemukan adanya keterkaitan antara disiplin yang keras dengan pencapaian akademik &/ perkembangan kognitif yang lebih buruk di sekolah (Smith, 2006).

 

-       Kualitas hubungan orangtua-anak.

Pesan yang didapat anak ketika diberikan hukuman fisik bukanlah “Apa yang kamu lakukan salah, jangan lakukan lagi”, tetapi “Ayah/ Ibu tidak mengasihimu” (Smith, 2006).

 

Ada banyak penelitian yang menemukan dampak buruk dari hukuman fisik terhadap anak. Hukuman fisik dapat membuat anak patuh dan menuruti arahan/ keinginan orangtua pada saat tersebut, akan tetapi dampak dari hukuman fisik bisa dirasakan anak sampai ia dewasa. Arahan/ batasan adalah hal yang penting bagi anak, namun demikian orangtua tidak perlu melakukannya dengan memberikan hukuman fisik pada anak.

 

Referensi:

 

Alla, K. (2021). What does the evidence tell us about physical punishment of children?. Australian Institute of Family Studies. https://aifs.gov.au/resources/short-articles/what-does-evidence-tell-us-about-physical-punishment-children#:~:text=The%20adverse%20impacts%20from%20physical,similar%20way%20to%20child%20abuse.

Papalia, D. E., & Martorell, G. (2014). Experience Human Development (13th Ed.).  NY, New York: Mc Graw-Hill.

World Health Organization (2021). Corporal Punishment and Health. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/corporal-punishment-and-health

Smith, A. B. (2006). The State of Research on The Effects of Physical Punishment. Social Policy Journal of New Zealand, 27 (114-127). https://www.msd.govt.nz/documents/about-msd-and-our-work/publications-resources/journals-and-magazines/social-policy-journal/spj27/27-pages114-127.pdf