ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 05 Maret 2023
Hardiness Pada Remaja Dengan Adverse Life Event
Oleh
Dian Jayantari Putri K. Hedo1 & Nicholas Simarmata2
1Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
2Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Beberapa waktu terakhir muncul fenomena terkait psikologi di kalangan remaja yaitu fenomena ‘healing’ yang biasanya dilakukan oleh remaja (Kompas, 2022). Remaja memunculkan istilah healing berdasarkan kegundahan yang mereka alami terkait keadaan psikologis mereka. Remaja kelompok generasi Z cenderung memiliki perhatian khusus dan melaporkan kondisi kesehatan mental mereka dengan cara melakukan perawatan dan terapi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2022). Remaja berasumsi bahwa healing merupakan kegiatan berlibur, bepergian ke dalam dan luar kota, serta melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Hal tersebut dilakukan remaja untuk “mengobati” (heal) kegundahan yang mereka alami ketika menghadapi berbagai tantangan dan peristiwa kehidupan. Remaja menganggap bahwa sekolah, keluarga, pergaulan, dan sosial cenderung memberikan tekanan, serta beban mental dan psikologis yang tidak tertahankan (unbearable) sehingga mereka memerlukan proses penyembuhan dan jeda untuk memulihkan kesehatan mental mereka. Proses penyembuhan inilah yang disebut dengan istilah healing oleh remaja. Maraknya fenomena healing pada remaja terekam di berbagai platform media sosial. Di laman resmi Kemenkeu (djkn.kemenkeu.go.id) yang membahas tentang remaja sebagai “generasi strawberry” terdapat pernyataan cuitan remaja terkait kehidupannya pada media sosial Twitter (Prihatina, 2022):
“Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self-reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mental health kaya gua. Gua mesti gimana....??? (diakhiri dengan emoticon menangis)”.
Hardiness merupakan suatu trait kepribadian yang dicirikan oleh perasaan komitmen daripada keterasingan, kendali daripada ketidakberdayaan, dan memersepsikan masalah sebagai tantangan daripada ancaman (King, 2014). Terdapat tiga trait kepribadian penyusun hardiness yang mencakup tantangan, komitmen dan kendali (Kobasa et al., 1982). Individu yang memiliki trait tantangan akan memiliki pemikiran bahwa dirinya dapat belajar dari kegagalan sebagaimana belajar melalui keberhasilan. Trait komitmen pada individu melibatkan keyakinan bahwa dalam keadaan buruk sekalipun, bahwa penting bagi individu untuk tetap terlibat dengan apapun situasi yang terjadi, daripada larut dalam keterpisahan dan keterasingan. Individu yang memiliki trait kendali dalam dirinya akan merasa membuang-buang waktu apabila membiarkan dirinya larut dalam ketidakberdayaan dan menjadi pasif. Individu yang secara bersamaan kuat dalam komitmen, tantangan, dan kendali cenderung melihat hidup sebagai fenomena yang terus berubah dan memancing individu untuk belajar dan berubah, berpikir bahwa melalui proses perkembangan mereka dapat bekerja pada perubahan dengan mengubahnya menjadi pengalamaan pemenuhan, serta berbagi atas usaha dan pembelajaran yang dilakukan dengan cara yang suportif kepada orang terdekat dan instansi di kehidupan individu (Maddi, 2013).
Remaja merupakan kelompok individu yang berada pada rentang usia 10 hingga 24 tahun (BKKBN, 2019). Remaja merupakan masa rentan dimana remaja memiliki berbagai tugas perkembangan yang sesuai dengan fase usianya (Gilmore & Meersand, 2015; Lansford & Banati, 2018). Remaja juga rentan mengalami perubahan yang memicu munculnya konflik di berbagai bidang kehidupannya (Hedo, 2022). Remaja berada dalam tahap membentuk identitas diri yang belum stabil menjadi lebih stabil. Hal ini menyebabkan remaja menjadi rentan mengalami berbagai turbulensi dan perubahan kehidupan (Hurlock, 2001). Remaja dapat berpikir dan bersikap tertantang dan bersemangat dalam menghadapi hal tersebut. Remaja dapat memiliki pengharapan dan kekuatan di dalam dirinya untuk bertahan mengatasi berbagai tantangan kehidupan (Hedo & Katmini, 2022). Namun demikian remaja juga dapat berpikir dan bersikap putus asa dan menyerah dalam menghadapi berbagai pengalaman hidupnya (Nayar-Akhtar, 2022). Pada beberapa kasus yang telah diungkapkan sebelumnya, remaja yang mengalami kasus tersebut menghadapi permasalahannya dengan dominasi keterasingan, ketidakberdayaan, dan keterancaman.
Remaja pada kasus fenomena healing memandang bahwa tantangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu ancaman yang bersifat negatif bagi dirinya. Hal ini menyebabkan munculnya rasa lelah dan tertekan yang mendorong remaja ingin segera keluar dari situasi atau pengalaman tersebut, yaitu dengan melakukan healing (Kompas, 2022a). Namun dengan adanya healing yang tidak sesuai dengan konteks dan kedalaman pengalaman yang dialami remaja, pengalihan sementara tersebut belum dapat membuat remaja menyadari dan meresapi secara optimal akan keberadaan tiga trait kepribadian penyusun hardiness yaitu tantangan, komitmen dan kendali (Kobasa et al., 1982) dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari. Dengan adanya keinginan untuk melepaskan diri dari tekanan yang dihadapi, remaja dalam kasus tersebut tidak menampilkan trait komitmen yang dapat membantunya memiliki keyakinan untuk tetap terlibat dalam situasi dan kondisi kehidupannya yang baik maupun yang buruk. Sebaliknya, remaja tersebut mengambil peran pasif terkait tantangan yang dihadapinya dan tidak terdorong untuk belajar dan berubah menghadapi setiap tantangan kehidupan.
Dengan adanya dinamika yang dialami oleh remaja dalam menghadapi kehidupannya pada fase usia tersebut, remaja juga dapat terjebak dalam suatu keterasingan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan (King, 2014). Remaja pada kasus fenomena bunuh diri cenderung memandang bahwa tantangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu ancaman yang bersifat negatif bagi dirinya. Remaja juga dapat merasa dirinya sendirian dan terasing dalam menghadapi tantangan kehidupan (Nayar-Akhtar, 2022). Remaja tersebut juga dapat merasa bahwa dirinya tidak memiliki kendali untuk menghadapi dan mengubah tantangan hidupnya menjadi penyemangat dalam pembelajaran menghadapi kehidupan. Hal ini dapat memicu mereka cenderung merasa tidak dapat menemukan jalan keluar atau solusi atas tantangan tersebut. Remaja berpikir bahwa tantangan tersebut adalah permasalahan hidup yang tidak ada jalan keluarnya sehingga mereka memilih untuk menyerah dan keluar dari kehidupan yang dimilikinya agar terlepas dari beban dan kesesakan yang dialami, salah satunya adalah dengan melakukan upaya bunuh diri (Fonseca-Pedrero et al., 2022).
Hardiness membantu remaja untuk bertahan menghadapi berbagai pengalaman dan dinamika kehidupan (Malkin et al., 2019). Dengan adanya hardiness, remaja dapat memiliki komitmen dalam menjalani berbagai pola dan dinamika kehidupannya, baik yang menyenangkan maupun yang menekan. Remaja yang memiliki hardiness di dalam dirinya juga mampu meyakini bahwa dirinya memiliki kendali atas apa yang dapat dilakukannya sebagai upaya menghadapi permasalahan dalam kehidupan. Mereka cenderung mampu mempersepsikan bahwa persoalan yang dihadapi dalam hidup merupakan tantangan yang diperlukan untuk dapat tumbuh dan berkembang (King, 2014). Hardiness di dalam diri remaja mendorong remaja untuk memiliki pengharapan bahwa dirinya akan mampu mencapai suatu hasil yang positif di saat menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari (Saputra & Suarya, 2019). Remaja juga menjadi lebih mampu memiliki toleransi terhadap tekanan ketika mereka menghadapi kesulitan atau masalah. Hal ini dapat membantu mereka untuk tidak mudah menyerah dan menjadi lebih mampu beradaptasi serta mengatasi situasi yang sulit dalam hidup.
Referensi:
BKKBN. (2019). Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) Remaja. In Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Fonseca-Pedrero, E., Al-Halabí, S., Pérez-Albéniz, A., & Debbané, M. (2022). Risk and Protective Factors in Adolescent Suicidal Behaviour: A Network Analysis. Int. J. Environ. Res. Public Health, 19(3), 1784. https://doi.org/10.3390/ijerph19031784
Gilmore, K. J., & Meersand, P. (2015). The Little Book of Child and Adolescent Development. Oxford University Press.
Hedo, D. J. P. K. (2022). Perilaku Hidup Sehat dan Terencana pada Remaja: Merencanakan Kehidupan Sehat Berkualitas Sejak Usia Remaja (R. Wardhani (ed.)). Tim Ahli Media.
Hedo, D. J. P. K., & Katmini. (2022). Determinants of Adolescents’ Healthy Lifestyle Behavior in Kediri, East Java. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 10(2), 103–117. https://doi.org/10.20473/jpk.V10.I2.2022.103-117
Hurlock, E. B. (2001). Developmental Psychology. McGraw-Hill Education.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Mengenal Pentingnya Kesehatan Mental pada Remaja. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/362/mengenal-pentingnya-kesehatan-mental-pada-remaja
King, L. A. (2014). Psikologi umum: Sebuah pandangan apresiatif (2nd ed.). Salemba Humanika.
Kobasa, S. C., Ma ddi, S. R., & Khan, S. (1982). Hardiness and health: A prospective study. Journal of Personality and Social Psychology, 42, 168–177. https://doi.org/10.1037/0022-3514.42.1.168
Kompas. (2022, February 6). Ramai Tren “Healing”, Apa Itu? Ini Penjelasan Psikolog Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Ramai Tren ‘Healing’, Apa Itu? Ini Penjelasan Psikolog.” Kompas Tren. https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/06/160000965/ramai-tren-healing-apa-itu-ini-penjelasan-psikolog?page=all
Lansford, J. E., & Banati, P. (2018). Handbook of Adolescent Development Research and Its Impact on Global Policy. Oxford University Press.
Maddi, S. R. (2013). Hardiness: Turning stressful circumstances into resilient growth. Springer.
Malkin, V., Rogaleva, L., Kim, A., & Khon, N. (2019). The hardiness of adolescents in various social groups. Frontiers in Psychology, 10(October), 1–7. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02427
Nayar-Akhtar, M. (2022). The Forgotten: A Tale of Despair and Disparity. Institutionalised Children Explorations and Beyond, 9(1), 11–14. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/23493003221074119?journalCode=icba
Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z. (2011). Hubungan kepribadian hardiness dengan optimisme pada Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) wanita di BLKLN Disnakertrans Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Undip, 10, 126–132. https://doi.org/doi:10.14710/jpu.10.2.126-132
Prihatina, R. (2022). Generasi Strawberry, Generasi Kreatif Nan Rapuh dan Peran Mereka di Dunia Kerja Saat Ini. Direktorat Hukum Dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/14811/Generasi-Strawberry-Generasi-Kreatif-Nan-Rapuh-dan-Peran-Mereka-Di-Dunia-Kerja-Saat-Ini.html
Pusat Kesehatan Reproduksi UGM. (2021). Indonesia National Adolescent Mental Health. https://pkr.fk.ugm.ac.id/penelitian/indonesia-national-adolescent-mental-health/
Saputra, I. M. R. A., & Suarya, L. M. K. S. (2019). Peran stres akademik dan hardiness terhadap kecenderungan gangguan psikofisiologis pada mahasiswa kedokteran tahun pertama. Jurnal Psikologi Udayana, 6(2), 1036–1048. https://doi.org/2654 4024