ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 05 Maret 2023
Saya Bersabda Maka Jadilah: ChatGPT
Oleh:
Christiany Suwartono1 & Eko A. Meinarno2
1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Latar Belakang
Sejarah dari ChatGPT dimulai pada tahun 2018, saat OpenAI meluncurkan model GPT-1, yang merupakan model generatif bahasa pertama yang dilatih pada corpus yang sangat besar. Setelah itu, OpenAI meluncurkan GPT-2, yang memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan model sebelumnya. Kemudian, pada tahun 2020, OpenAI meluncurkan ChatGPT, yang merupakan evolusi dari GPT-2 yang difokuskan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan percakapan.
ChatGPT merupakan model bahasa yang dikembangkan oleh OpenAI. GPT adalah singkatan dari "Generative Pre-trained Transformer", sebuah model bahasa yang dilatih untuk menghasilkan teks (Natalie, 2023). Model ini dilatih pada corpus yang sangat besar dari tullisan-tulisan yang ada di internet, sehingga dapat menangani berbagai jenis permintaan yang berhubungan dengan bahasa. Corpus itu sendiri merupakan kumpulan data teks yang digunakan untuk melatih model bahasa sehingga ia dapat mempelajari tata bahasa, kosakata, dan konteks bahasa yang beragam. Biasanya corpus ini terdiri dari teks yang berasal dari berbagai sumber seperti buku, artikel, surat kabar, dan teks dari internet. Hal inilah yang membuat corpus bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan model bahasa ketika berhadapan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan bahasa, seperti generasi teks, pemahaman konteks, dan tanya jawab.
Cemas dengan Teknologi
Sebagai penonton film, keberadaan ChatGPT mirip dengan awal dari film The Terminator, The Matrix, dan I Robot. Dari ketiga film itu, yang menjadi kecemasan adalah pada akhirnya kecerdasan buatan mampu berpikir untuk dirinya dan bahkan mempertahankan dirinya dari manusia. Mereka (dianggap) demikian karena manusia sendiri yang menyalahi tugas dan fungsinya. Kita mungkin terlalu bersibuk diri dengan pikiran bahwa jika kita penciptanya maka benda yang diciptakan takkan lebih baik dari kita. Padahal cepat atau lambat kemampuan nalar manusia akan disamai oleh kecerdasan buatan.
Keberadaan ChatGPT ini menggugah, khususnya pada bidang-bidang yang mengutamakan penulisan sebagai kemampuan yang perlu dibangun. Muncul kecemasan dari bidang jurnalistik (Haryanto, 2023), dan tentunya dunia pendidikan (Brodjonegoro, 2023; Fithriyyah, 2023). Secara khusus para dosen dan mahasiswa tentu akan “berhadapan” dengan ChatGPT. Dunia pendidikan akan amat merasakan ini, khususnya dalam hal tugas-tugas yang sifatnya berupa tulisan. Kekhawatiran ini bahkan bisa jadi ketika teknologi komputer ada (bisa berhitung dan menulis). Semakin khawatir ketika terdapat mesin penerjemah Google dan seterusnya. Namun semuanya tetap memilih keterbatasan.
Namun bukan berarti kita tidak menghadapi masalah. Sederhana saja, apakah ketika individu mengandalkan teknologi dapatkah teknologi itu malah membuat manusia turun kemampuannya? Atau dengan kata lain makin hari makin tidak mampu bernalar? Saat tulisan ini dibuat, Youtube saja mampu mengenali kesukaan tontonan kita tanpa melakukan survei. Hanya butuh pola pembukaan kanal, maka Youtube akan memanjakan pemirsanya.
Tugas pada Mahasiswa, Cuma Menuliskah?
Kekhawatiran para dosen atau guru tidak akan terlalu heboh jika dalam pengajaran dilakukan berbagai model evaluasi. Terlebih sejak diberlakukan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, maka mahasiswa akan dievaluasi dengan berbagai bentuk cara, karena mereka juga magang. Di kampus juga, penugasan bisa berupa produk karya yang diujicobakan/simulasi, setidaknya secara teoretik/empirik di ruang kelas. Bisa juga aktivitas kelas seperti turun lapangan dan menuliskan hasilnya di media-media umum. Masih banyak bentuk lain yang belum dieksplorasi atau belum dilihat potensinya.
Benarkah ChatGPT Mampu Mandiri?
Seorang penulis mencoba memanfaatkan platform AI open source ini (https://chat.openai.com/auth/login) untuk menulis lima paragraf pembukaan editorial sebuah artikel (O'Connor & ChatGPT,2 023). Alur tulisan pada paragraf yang dimaksud, amatlah logis dan enak dibaca. Tulisan tersebut mendeskripsikan bahwa AI dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam memberikan umpan balik tulisan, mempelajari bahasa, dan memahami sebuah konsep. Namun, dituliskan juga bahwa, AI tidak memberikan rujukan dari informasi yang diberikan.
Pada bagian awal tulisan ini kita mengetahui bahawa teknologi ini butuh sekali sumber. Secara sederhana, apa yang ia berikan pada pengguna hanya akan luas dan mendalam ketika ada asupan sebelumnya. Tanpa ada data, maka yang dihasilkan oleh teknologi ini tidak lain hanya sebuah rangkaian kata yang bisa jadi tidak bermakna. Hal yang ingin disampaikan adalah, banyaknya data hanya bisa terjadi ketika manusianya yang memberi lebih banyak asupan (misal, menulis artikel koran, jurnal, buku, monograf dan sejenisnya). Dengan demikian, ChatGPT masih butuh manusia sebagai sumber dayanya.
Referensi:
Brodjonegoro, SS. Hakikat pendidikan. Kompas, 10 Februari 2023.
Fithriyyah, YN. Fenomena AI generatif dalam dunia pendidikan. Kompas, 1 Februari 2023.
Haryanto, I. Kecerdasan buatan, ancaman bagi jurnalisme? Kompas, 9 Februari 2023.
Natalie. (2023). ChatGPT General FAQ. Diakses daring 26 Februari 2022 pada https://help.openai.com/en/articles/6783457-chatgpt-general-faq
Nugroho, RA. Korosi plagiasi di sekolah. Kompas, 1 Februari 2023.
O'Connor, S. & ChatGPT (2023). Open artificial intelligence platforms in nursing education: Tools for academic progress or abuse? Nurse Education in Practice, 66: 103537. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2022.103537