ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 04 Februari 2023

 

KPIN Berembug Karir Dosen Di Perguruan Tinggi 

Oleh:

Eko A. Meinarno1, Idhamsyah Eka Putra2, Subhan El Hafiz3, & Laila Meiliyandrie Indah Wardani4

1Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

2Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

3Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka 

4Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Tim Buletin KPIN (dengan izin khusus)

 

Pengantar

Tulisan ini bukan dibuat berdasarkan diskusi yang terjadi di WAG KPIN. Secara khusus, tulisan ini adalah perbincangan dari dua tokoh dalam KPIN. Pertama adalah Idhamsyah Eka Putra (Idham), dosen dari Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI, dan yang kedua adalah Subhan El Hafiz (Subhan) dosen dari Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Kedua ilmuwan muda ini mempunyai prinsip keilmuan yang kuat sekaligus peduli dengan perkembangan kebijakan pemerintah terhadap para dosen di Indonesia.

 

Adapun pematik dikusi adalah berita di harian Kompas yang mengangkat isu kenaikan pangkat dosen, khususnya Profesor, yang melibatkan  joki. Dalam berita berita tersebut, joki ini muncul sebagai respon terhadap hasrat dosen untuk mencapai gelar kehormatan akademik tertinggi yakni Profesor, tapi menghadapi beberapa kendala. Kendala ini tidak lepas dari peraturan dari DIKTI yang ketat, yang bisa jadi hampir tidak bisa dipenuhi oleh sebagian dosen di Indonesia (secara lengkap dapat membaca harian Kompas edisi 10-13 Februari 2023).

 

Pihak editor Buletin KPIN berterima kasih kepada kedua ilmuwan yang memperkenankan mengambil diskusi mereka dari grup komunikasi WhatsApp KPIN. Respon pertama dari Idhamsyah lebih mendorong menyampaikan bahwa praktek perjokian ini tidak mengejutkan namun kita seringkali mengabaikannya dan tidak mempermasalahkan praktek tersebut. Salah satu yang ditekankan oleh beliau adalah terkait dengan kewajiban publikasi ilmiah dalam jurnal internasional yang justru menjadi boomerang. Hal ini ditanggapi oleh Subhan yang mengusulkan perbaikan dari model akreditasi universitas yang tidak harus seragam.

 

Selanjutnya, dibagian akhir buletin KPIN mencoba memberi benang merah diskusi tersebut. Beberapa perbaikan minor dilakukan karena memang bahasa yang digunakan lebih keseharian, walau tidak mengurangi makna keilmuannya. Semoga bermanfaat.

 

Respon Idham terkait berita joki guru besar di Kompas

Kebanyakan dari kita sudah sama-sama tahu adanya praktek perjokian ini. Namun yang membuat banyak orang kaget adalah karena (koran) Kompas berani mengungkapkan problem ini, sampai empat hari berturut-turut. Artinya Kompas menganggap ini sebagai masalah besar.

 

Jika konsep meritokrasi masih baru pada proses omongan/mimpi dan belum benar-benar dipraktekkan karena ekosistem kampus masih belum mendukung, sehingga praktek perjokian ini saya yakin akan terus ada. Rasanya lucu jika ada program namanya bimbingan percepatan guru besar (GB) atau tim junior yang membantu secara intens agar dosen seniornya bisa menjadi GB. Hal seperti ini, jika berangkat dari model meritokrasi, seharusnya yang “siap” menjadi GB itu adalah tim suksesnya. Sedangkan orang yang dibantu itu, jika memang tidak sanggup sebaiknya menerima dengan terbuka bahwa GB memang bukan atau belum untuknya.

 

Namun perlu diakui juga, problem ini dimulai dari aturan DIKTI terkait GB dan kriteria publikasi yang diberlakukan untuk seluruh kampus sehingga dari kampus kelas teri, kambing, kakap aturannya dibuat sama “mesti” menuju kampus riset, “mesti” go internasional, dan “mesti-mesti-mesti” lainnya.

 

Kalau mengacu kampus di luar negeri, tidak semua kampus berorientasi menjadi kampus riset, atau menuju intenasional. Begitupula dengan kategori profesor juga bermacam-macam. Contohnya seperti di Amerika Serikat, ketika seorang dosen yang orientasinya hanya mengajar, maka dosen ini tidak akan dipaksa untuk melakukan riset. Namun meskipun begitu, dosen tersebut dapat menjadi seorang profesor juga, dengan sebutan teaching profesor. Salah satu orang Indonesia yang menjadi teaching professor adalah Desiana Pauli Sandjaja yang mengajar Asian Languages & Literature di University of Washington (https://asian.washington.edu/people/desiana-pauli-sandjaja). Profesor Desiana hanyalah salah satu contoh, dan masih banyak lagi jenis professor yang ada seperti profesor bidang musik, art, dan lainnya.

 

Belajar dari kasus ini, seharusnya aturan mengenai publikasi dan riset diberikan wewenang dan kebebasannya pada kampus, dan bukan Kementerian yang memaksakan kebijakan ini. Permasalahan lainnya adalah aturan yang dibuat mengenai kewajiban publikasi yang penekanannya hanya lewat ganjaran (reward). Akan tetapi tidak ada hukuman (punishment), sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak mendapatkan insentif ataupun tidak bisa naik jabatan bukanlah bentuk dari punishment. Menurut Idham, ia pun belum pernah mendengar ada dosen atau mahasiswa yang diketahui publikasi di jurnal bodong atau predator dipecat. Sedangkan untuk mahasiswa, hanya sebatas tidak diakui publikasinya sebagai prasyarat. Berbeda halnya di luar negeri di mana ada aturan tidak tertulis yaitu jika satu atau dua kali punya publikasi di jurnal bodong, bisa jadi itu korban. Akan tetapi ketika punya lebih dari lima publikasi di jurnal bodong, maka mesti dipertanyakan apakah benar dia korban?

 

Di luar negeri, kenapa banyak akademisi-akademisi muda, postdoc atau assisten profesor mengalami stress berat? Salah satu penyebab hal ini terjadi adalah mereka takut tidak dapat memenuhi target yang ditentukan dalam kontrak, karena jika dalam perjanjian yang disepakati ada target publikasi dan mereka tidak dapat memenuhinya maka akan berdampak pada kontrak yang tidak diperpanjang.

 

Berbeda dengan Indonesia, keadaan ini jarang ditemukan dan bahkan mungkin tidak ada, sehingga marak praktek perjokian. Joki-joki ini pun mungkin paling maksimal bisa mempublikasikan papernya di jurnal-jurnal MDPI. Perlu dicatat bahwa beberapa jurnal MDPI ini ada yang sampai Scopus Q1/Q2. Namun, publikasi MDPI ini dianggap sebagai jurnal abu-abu yang disarankan untuk dihindari karena beberapa alasan (silakan cek di https://paolocrosetto.wordpress.com/2021/04/12/is-mdpi-a-predatory-publisher/ atau https://academic.oup.com/rev/article/30/3/405/6348133). Akan tetapi karena DIKTI hanya berkutat urusan tingkat Q, maka banyaklah orang Indonesia yang masuk ke MDPI karena tidak masuk daftar hitam DIKTI dan bisa mendapatkan insentif.

 

“Aah, kalo bicara Indonesia, complicated memang. Setelah Kompas mengeluarkan berita ini, tidak begitu yakin juga akan ada perubahan yang berarti…” -Idham-

 

Tanggapan Subhan terhadap berita tersebut

“Wah ini obrolan warung kopi aja ya, soalnya ga akan bermanfaat diskusi kita kalau ga sampe ke level pembuat kebijakan, minimal DIKTI. Saya pikir, salah satu pendekatan untuk menyelesaikan masalahnya adalah lewat akreditasi universitas.” – Subhan-

 

Borang akreditasi yang menjadi standar DIKTI tidak membedakan kategori research university (RU) dan teaching university (TU) yang seharusnya dibedakan dalam penilaiannya. Misalnya, untuk menilai RU, skor tertinggi seharusnya ada di luaran riset, yaitu publikasi jurnal, akan tetapi untuk TU skor tertinggi seharusnya di serapan lulusannya oleh perusahaan. Contoh lain, RU dapat dinilai tinggi kalau komposisi mahasiswa S2 dan S3 (pascasarjana) lebih banyak dari S1 (sarjana), sebaliknya penilai TU dari komposisi mahasiswa harusnya lebih banyak sarjana daripada pascasarjana.

 

Penilaian juga bisa dilihat dari latar belakang dosen, di mana TU bisa lebih positif jika mengajak banyak praktisi sebagai pengajar, sebaliknya RU harus banyak dosen dengan latar belakang riset yang baik.

 

Sedangkan untuk kegiatan mahasiswa, TU bisa lebih banyak mengadakan kunjungan ke perusahaan sedangkan RU lebih banyak pada kegiatan seminar ilmiah. Demikian pula jejaring, network RU seharusnya lebih banyak pada lembaga riset dan pemberi dana riset, sedangkan TU jejaringnya adalah perusahaan atau profesional.        

 

Selanjutnya terkait publikasi dosen, kampus RU harus lebih kuat menjaring dosen dengan rekam jejak publikasi yang baik. Sebaliknya kalau kampus TU, tidak perlu terlalu menekankan pada publikasi dosen, akan tetapi lebih menekankan pada keterampilan mengajar di kelas untuk meningkatkan keterampilan praktis mahasiswa.

 

Dengan konsep ini, kampus akan lebih selektif untuk memberi ganjaran. Kampus TU tidak akan jor-joran memberi insentif untuk publikasi hanya demi mengejar akreditasi. Namun, kampus ini bisa fokus meningkatkan kualitas pengajaran agar mahasiswa bisa diserap dengan cepat di perusahaan. Sebaliknya, kampus RU harus jor-joran di riset.

 

Sehingga, walaupun minim publikasi kampus TU tetap bisa punya akreditasi bagus yang mendorong lebih banyak mahasiswa S1 daftar karena umumnya masih berorientasi kerja. Sebaliknya, kampus RU akan mengedepankan riset karena target mahasiswanya adalah pascasarjana yang lebih fokus ke pengembangan ilmu.

 

Terkait kampus merdeka program Mas Menteri, sepertinya hanya cocok untuk TU dan tidak sesuai dengan konsep dari RU. Jadi kampus merdeka sebaiknya bukan program yang dapat diberlakukan untuk semua kampus se-Indonesia seperti impian Mas Menteri. Sama halnya dengan kegalauan Idham, menurut Subhan internasionalisasi kampus tidak harus lewat publikasi internasional, khususnya lewat sikopus (indeks Scopus) dan kawan-kawannya. Akan tetapi lebih disesuaikan kemana visi dan misi dari universitas tersebut, ke arah research university (RU) atau teaching university (TU).

 

Benang Merah dari Buletin KPIN

Buletin tidak ingin mereduksi diskusi di atas menjadi sebuah kesimpulan kecil, namun dalam diskusi di WAG KPIN, ide-ide dalam diskusi tersebut sesungguhnya cukup aplikatif untuk diaplikasikan. Subhan mengusulkan bahwa kampus perlu dibedakan menjadi research university (RU) dan teaching university (TU), Sedangkan Idham melengkapi bahwa pendekatan untuk menyelesaikan masalah ini juga bisa dari kategorisasi dosen yang dibagi menjadi dosen yang fokus pada pengajaran, dan dosen yang fokus pada penelitian.


Buletin KPIN, berharap diskusi ini tidak hanya menjadi obrolan warung kopi yang tidak bermanfaat. Tujuan kami mempublikasikan diskusi ini adalah agar diskusi ini dapat sampai pada pembuat kebijakan dan menjadi harapan baru untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia yang lebih baik.