ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 04 Februari 2023
Menghadapi Permasalahan Hidup: Memahami Peranan Penilaian Kognitif
Oleh:
David Matahari
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Dalam suatu kisah Zen kuno, pada suatu hari ada sekelompok katak sedang berjalan bersama. Dua dari antara mereka terjerumus masuk ke dalam suatu lubang dalam. Teman-teman dari dua katak tersebut berkata pada dua katak tersebut: "Lubangnya sangat dalam, kalian tidak akan bisa keluar!”. Katak yang satu mendengar itu menyerah dan tidak berusaha lagi untuk keluar, sampai akhirnya tenggelam dan mati. Namun demikian, katak yang kedua terus berusaha. Teman-temannya di atas berkata: "Percuma, kau tidak akan bisa keluar! Lubangnya terlalu dalam!” Akan tetapi katak kedua tetap berusaha. Semakin keras teman-temannya berteriak, semakin keras usaha si katak untuk melompat keluar. Akhirnya katak kedua berhasil melompat keluar dari lubang tersebut. Di atas teman-temannya bertanya padanya: “Kenapa kau tidak mendengarkan kami? Si katak tersebut menjawab teman-temannya: “Saya tidak dengar! Saya pikir kalian menyemangati saya untuk terus melompat!”
Menghadapi Permasalahan Hidup: Peranan Penilaian Kognitif
Menurut Lazarus dan Folkman (1984) sudah sejak lama ada pendapat bahwa dalam hidup tidak ada sesuatu yang baik ataupun buruk, namun hanya pemikiran kita yang membuatnya seperti itu. Penilaian seseorang terhadap suatu kejadianlah yang membentuk respon emosional dan perilakunya. Pendapat ini memiliki tradisi yang Panjang juga di dalam dunia psikologi. Pendapat sebaliknya bahwa penilaian seseorang tidaklah penting sebenarnya merupakan pendapat yang baru dan tidak memiliki dasar kuat.
Bukti-bukti penelitian ilmiah sebenarnya semakin memperlihatkan mengenai pentingnya peranan penilaian kognitif dalam fenomena stres. Namun demikian penelitian-penelitian tentang stres banyak yang berlandaskan pada model teori non-kognitif. Teori ini menjelaskan bahwa kekurangan-kekurangan atau dorongan yang tidak terlepaskan menyebabkan ketegangan. Makhluk hidup yang ketegangannya tidak dapat terselesaikan merupakan makhluk hidup yang secara fisiologis terus terdorong (aroused) oleh ketegangan tersebut. Dapat dikatakan emosi terasimilasikan oleh konsep arousal/activation (terdorong) ini. Emosi jadinya tersimplifikasikan hanya sebagai suatu konstruk unidimensional yang memiliki manifestasi fisiologis dan perilaku.
Lazarus dan Folkman mengkritisi hal ini. Menurut mereka semakin banyak para peneliti yang menekankan pada pentingnya penilaian kognitif sebagai faktor signifikan dalam stres. Levine et al. (1978 [dalam Lazarus & Folkman, 1984]) menjelaskan bahwa respon individu terhadap lingkungan fisik menentukan. Apabila individu tidak melihat situasi sebagai mengancam, maka keadaan yang sangat membahayakan pun tidak akan menimbulkan stres.
Suatu penelitian penting dari Schachter dan Singer (1962) mempertegas hal ini. Mereka melakukan penelitian yang mengontrol reaksi/sensasi fisiologis dan interpretasi terhadap reaksi tersebut. Faktor reaksi fisiologis dimanipulasi dengan cara menyuntikkan epinephrine. Ini adalah obat yang menimbulkan efek aroused: Percepatan detak jantung, gemetar, memunculkan perasaan hangat, serta percepatan pernafasan. Partisipan penelitian disuntik epinephrine, namun tidak diberitahu apa isi suntikan dan apa pengaruhnya. Mereka lalu dibagi ke dalam dua kelompok dengan dua kondisi berbeda: Kondisi euforia dan kondisi marah.
Kondisi euforia berisikan kegiatan-kegiatan dan keadaan-keadaan yang memiliki asosiasi dengan perasaan bahagia: Dalam ruangan ada balon-balon dan barang-barang bernuansa ceria dan aktif. Dalam kondisi marah kebalikannya, berisikan kegiatan-kegiatan dan keadaan-keadaan yang memiliki asosiasi dengan perasaan marah. Orang-orang ini merasakan sensasi fisiologis dari suntikan, namun tidak tahu dari mana perasaan itu berasal. Schachter dan Singer berpendapat, mereka akan melihat situasi sekitar dan menginterpretasikan perasaannya berdasarkan situasi sekitar tersebut. Hasil penelitian mengonfirmasi hal ini. Mereka yang berada di kondisi euforia melaporkan bahwa mereka merasa berbahagia, namun mereka di kondisi marah melaporkan bahwa mereka merasa marah. Dari penelitian ini kita bisa lihat pentingnya penilaian kognitif seseorang.
Apa itu Penilaian Kognitif?
Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan penilaian kognitif (cognitive appraisal) secara umum dapat dimengerti sebagai proses kategorisasi suatu hal yang sedang dihadapi dan berbagai aspeknya, sehubungan dengan dampaknya pada kesejahteraan diri. Penilaian kognitif ini terbagi menjadi penilaian primer dan sekunder yang mengidentifikasi dua masalah utama evaluatif dalam penilaian. Penilaian primer merupakan penilaian dalam suatu keadaan, “Apakah saya diuntungkan atau menemui suatu masalah, apakah hal ini sedang terjadi saat ini atau akan muncul di masa depan, dan dengan cara apa?
Penilaian Primer
Lazarus dan Folkman (1984) membagi penilaian primer ke dalam tiga bentuk: (1) tidak relevan, (2) tak berbahaya-positif, dan (3) penuh stres. Ketika suatu hal tidak membawa dampak apapun pada seseorang maka ini kategori pertama. Kategori kedua adalah ketika sesuatu membawa dampak positif. Kategori ketiga, hal-hal yang berisikan bahaya/kehilangan, ancaman, dan tantangan dapat mendatangkan stres.
Penilaian pertama, bahaya/kehilangan. Ini adalah kerusakan/kerugian yang telah dialami, menghambat seperti cedera atau penyakit, mengalami penurunan harga diri, atau kehilangan seseorang yang dicintai. Penilaian kedua, ancaman. Ancaman adalah keadaan bahaya/kehilangan yang belum terjadi, namun bisa muncul di masa depan. Penilaian ketiga, tantangan. Ini memiliki kesamaan dengan ancaman karena memerlukan usaha untuk mengatasinya.
Menilai sesuatu sebagai tantangan akan membuat kita berfokus imbalan positif yang bisa didapatkan dan pada potensi diri kita untuk dapat bertumbuh melalui hal tersebut. Menilai sesuatu sebagai tantangan juga memunculkan emosi yang menyenangkan seperti semangat dan kegembiraan. Namun demikian menilai sesuatu sebagai ancaman berfokus pada dampak negatif yang dapat muncul serta menimbulkan emosi seperti takut, kecemasan, dan marah.
Penelitian dari Schlegel et al. (1980) menunjukkan ada perbedaan dari banyaknya keluhan yang dirasakan, apabila seseorang mengganggap sesuatu hal sebagai tantangan atau ancaman. Penelitian ini menunjukkan apabila orang melihat suatu masalah lebih sebagai tantangan, maka keluhan yang dirasakan akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang yang melihat suatu hal sebagai suatu ancaman.
Penilaian Sekunder
Menurut Lazarus dan Launier (1978) bentuk penilaian sekunder adalah penilaian hal-hal apa saja yang dapat dilakukan ketika menghadapi masalah. Penilaian sekunder adalah penilaian, “Apa yang bisa dilakukan dalam menghadapi hal tersebut?” Kata sekunder di sini bukan berarti bahwa penilaian ini harus terjadi setelah penilaian primer dan juga tidak berarti penilaian ini kurang penting. Penilaian ini penting karena baiknya pemecahan masalah akan tergantung dari apakah kita merasa dapat melakukan sesuatu untuk mengatasinya atau tidak. Penilaian sekunder menentukan perilaku pemecahan masalah apa yang akan dilakukan. Penilaian ini memengaruhi penilaian primer, apakah suatu hal dianggap sebagai ancaman atau tantangan. Penilaian bahwa kita mampu mengatasi suatu bahaya yang akan datang membuat bahaya itu menjadi tantangan dan bukan suatu ancaman.
Penutup
Dalam cerita dua katak di awal, kita dapat melihat dua katak yang menunjukkan respon yang berbeda terhadap masalah yang sama. Kedua katak sama-sama menilai masalah yang ada sebagai suatu keadaan bahaya. Katak pertama terdiam dan tidak berusaha keluar. Penilaian sekundernya menilai bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya maka ia tidak mengeluarkan usaha apapun dan terdiam sampai mati. Di sisi lain, katak kedua terus melompat-lompat. Ia menilai ia memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut. Ia melihat masalah sebagai tantangan yang harus ia lewati. Ia berpikir bahwa temannya terus menyemangati/mengingatkan bahwa ia mampu melompati lubang tersebut. Ia terus berusaha sampai dapat keluar.
Referensi:
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing Company.
Lazarus, R. S., & Launier, R. (1978). Stress-related transactions between person and environment. In L. A. Pervin, & M. Lewis (Eds.), Perspectives in interactional psychology (pp. 287-327). Plenum Press.
Schlegel, R. P., Wellwood, J. K., Copps, B. E., Gruchow, W. H., & Sharatt, M. T. (1980). The relationship between perceived challenge and daily symptom reporting in Type A vs Type B postinfarct subjects. Journal of Behavioral Medicine, 3, 191-204. https://doi.org/10.1007/BF00844990
Schachter, S., & Singer, J. E. (1962). Cognitive, social, and psychological determinants of emotional state. Psychological Review, 69, 379-399. https://doi.org/10.1037/h0046234