ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 01 Januari 2023
Tingkat Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Melambung Tinggi Pasca COVID-19: Normalkah?
Oleh:
Carla Suci Lestari & Ellyana Dwi Farisandy
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Pandemi COVID-19 yang berlangsung kurang lebih selama dua tahun membawa banyak dampak pada masyarakat Indonesia dari berbagai bidang, salah satunya adalah bidang perekonomian yang berpengaruh pada sektor bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Kristianus (2021), pada tahun 2021 terdapat sebanyak 21,32 juta orang penduduk usia kerja yang mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah ini merupakan peningkatan dari awal tahun 2021, yakni meningkat sebesar 11,67% atau sebanyak 2,22 juta orang. Dari data tersebut, penduduk usia kerja atau pekerja yang mengalami dampak COVID-19 dikategorikan menjadi empat kategori kelompok yakni pengangguran akibat COVID-19 sebanyak 1,82 juta orang, bukan angkatan kerja (BAK) akibat COVID-19 sebanyak 700.000 orang, sementara tidak bekerja akibat COVID-19 sebanyak 1,39 juta orang, dan penduduk yang bekerja dengan mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 17,41 juta orang akibat dari COVID-19 (Kristianus, 2021). Kondisi dua kelompok pertama adalah dampak pandemi COVID-19 pada mereka yang mengalami pemberhentian kerja, sedangkan kondisi dua kelompok terakhir adalah dampak pandemi COVID-19 yang dirasakan oleh mereka yang masih bekerja.
Saat ini, pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia sudah mulai mereda dan terkendali sehingga terjadi pelonggaran aktivitas, salah satunya adalah kegiatan ekonomi mulai bergerak lagi. Meskipun kegiatan ekonomi mulai pulih pasca COVID-19, tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) masih cenderung tinggi di perusahaan Indonesia, terutama perusahaan bidang start-up, seperti Shopee, LinkAja, SiCepat, dan lain sebagainya (Siswanto & Perwitasari, 2022). PT Shopee Indonesia melakukan PHK kepada sejumlah karyawannya pada pertengahan bulan september 2022 sebagai langkah terakhir perusahaan serta sebagai langkah efisiensi setelah penyesuaian beberapa perubahan kebijakan bisnis yang telah dilakukan sebelumnya. Tenaga kerja yang terkena PHK akan diberikan pesangon sebagai bentuk dukungan dari perusahaan Shopee. Kemudian, LinkAja yang merupakan start-up financial technology (fintech) juga melakukan PHK kepada sekitar 200 karyawannya sebagai upaya untuk melakukan reorganisasi. Selain itu, Start-up lain yang berada di bidang pelayanan antar-kirim barang, yakni SiCepat, juga melakukan PHK kepada sekitar 360 karyawannya untuk menyesuaikan bisnis dengan kondisi ekonomi perusahaan yang sedang dialami dan sebagai bentuk evaluasi kompetensi karyawan (Purwanti, 2022).
DEFINISI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Dalam UU No.13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) ialah bentuk pengakhiran dalam melakukan hubungan kerja yang disebabkan oleh suatu hal tertentu yang menyebabkan hak dan kewajiban antara pekerja dengan perusahaan berakhir. PHK merupakan fenomena yang sering terjadi dalam sebuah hubungan kerja dan sangat ditakuti oleh karyawan, terutama tindakan PHK secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan (Maringan, 2015). Dessler (2013), menyatakan bahwa sebenarnya PHK atau layoff bukan merupakan pemutusan hubungan kerja karyawan secara permanen. Namun, beberapa perusahaan menggunakan istilah layoff sebagai penghalusan makna untuk pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja.
ALASAN TERJADINYA PHK
Perusahaan membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mempertahakan bisnisnya dalam menghadapi krisis cash flow, mulai dari berhenti memproduksi barang atau jasa, menutup usahanya sementara, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK menjadi risiko yang kemungkinan besar dipilih oleh perusahaan ketika terjadi penurunan penjualan yang cukup signifikan (Dessler, 2013). Selain itu, berdasarkan contoh kasus PHK di perusahaan start-up seperti Shopee, LinkAja, dan SiCepat, dapat diketahui bahwa alasan perusahaan melakukan PHK kepada karyawan tidak hanya disebabkan oleh krisis finansial perusahaan, tetapi juga dapat disebabkan oleh upaya perusahaan untuk melakukan reorganisasi ataupun sebagai bentuk evaluasi kompetensi karyawan di perusahaan tersebut.
DAMPAK PHK
Tejadinya pemutusan hubungan kerja pada karyawan tentunya berdampak pada fisik dan psikologis karyawan, baik yang mengalami pemutusan kerja maupun rekan karyawan yang masih bekerja di perusahaan tersebut. (Dessler, 2013). Dampak bagi karyawan yang masih bekerja di perusahaan yang melakukan PHK adalah mereka merasa cemas dah takut akan menjadi orang berikutnya yang diberhentikan oleh perusahaan sehingga merasa tidak aman dan dapat memengaruhi kesehatan fisiknya. Sedangkan dampak yang dialami oleh korban PHK cenderung jauh lebih serius, yakni mengalami stress yang memengaruhi kesehatan fisik ataupun stress yang berujung pada depresi, bahkan sampai mengalami gangguan pada kejiwaannya (Anastasia dalam Sulastri & Dede, 2021).
LALU, APAKAH LONJAKAN PHK DAPAT DIKATAKAN NORMAL?
Adanya tindakan pemutusan hubungan kerja sebenarnya ialah suatu kegiatan yang normal dilakukan oleh setiap perusahaan untuk keberlangsungan usahanya (Dessler, 2013). Apalagi, sejak pandemi COVID-19, berbagai sektor mengalami dampak yang cukup signifikan. Salah satu sektor yang terdampak adalah sektor bidang ketenagakerjaan dimana perusahaan-perusahaan banyak mengalami kerugian bahkan beberapa perusahaan ada yang sampai menutup perusahaannya secara permanen sehingga perusahaan yang tersisa harus melakukan strategi untuk bertahan ditengah kondisi seperti ini. Maka dari itu, tidak heran kalau tingkat pemutusan hubungan kerja di Indonesia melonjak pasca COVID-19.
Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dikatakan normal apabila tindakan PHK tersebut dilandasi oleh alasan yang jelas dan sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan, contohnya adalah lonjakan tingkat PHK akibat dari suatu fenomena yang merugikan yang kemudian korban PHK akan diberikan dukungan dari perusahaan. Namun, apabila lonjakan PHK disebabkan oleh alasan yang tidak jelas atau dilakukan secara masal dan tidak sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan, maka hal tersebut dapat dikatakan tidak normal (Zulhartati, 2010).
KESIMPULAN
Adanya pandemi COVID-19 di Indonesia membawa dampak negatif pada sektor bagian ketenagakerjaan yang menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawannya. Saat pandemi COVID-19 mulai mereda dan terkendali, terjadi pelonggaran pada aktivitas berbagai sektor, salah satunya adalah sektor ekonomi. Namun, tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) pasca COVID-19 masih cenderung tinggi di perusahaan Indonesia, terutama perusahaan bidang start-up. Lonjakan tingkat PHK terjadi karena beberapa alasan yang juga dapat berdampak pada para pekerja baik korban PHK ataupun rekannya. Pengkategorian normal atau tidak normal lonjakan PHK tergantung dari dasar alasan dilakukannya PHK dan kesesuaian dengan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.
REFERENSI:
Dessler, G. (2013). Human Resource Management (13th ed.). Pearson.
Kristianus, A. (2021). Pengangguran Capai 9,1 Juta Orang BPS: 21,32 Juta Penduduk Usia Kerja Masih Terdampak Covid-19. Investor.Id. https://investor.id/business/269999/bps-2132-juta-penduduk-usia-kerja-masih-terdampak-covid19
Maringan, N. (2015). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 3(13), 1–10. https://www.neliti.com/publications/146819/tinjauan-yuridis-pelaksanaan-pemutusan-hubungan-kerja-phk-secara-sepihak-oleh-pe#cite
Purwanti, T. (2022). Makin Banyak! Ini Daftar Perusahaan yang PHK Karyawan 2022. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20221007095043-37-377947/makin-banyak-ini-daftar-perusahaan-yang-phk-karyawan-2022
Siswanto, D., & Perwitasari, A. S. (2022). Banjir Gelombang PHK, Indonesia Diambang Resesi? Kontan.Co.Id. https://nasional.kontan.co.id/news/banjir-gelombang-phk-indonesia-diambang-resesi
Sulastri, S., & Dede. (2021). Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Potong Gaji Terhadap Kesehatan Mental Karyawan UMKM di Lampung Timur pada Era Pandemic COVID 19. Jurnal Manajemen & Bisnis Kreatif, 7, 1–12. https://doi.org/https://doi.org/10.36805/manajemen.v7i1.1943
Undang - Undang Republik Indonesia No 13 tahun 2003. (2003). In Ketenagakerjaan (Issue 1). https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf
Zulhartati, S. (2010). Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan Perusahaan. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 1. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26418/j-psh.v1i1.382