ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 16 Agustus 2022
Bijak Bermedia Sosial
Oleh:
Clara Moningka & Annisa Windi Soewastika
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Bijak dalam menggunakan sosial media menjadi kewajiban setiap orang saat ini sebelum menerima informasi yang beredar. Ibarat dua mata pisau, perkembangan teknologi informasi memudahkan manusia dalam menyampaikan pesan melalui media sosial, bebas brekreasi di media sosial, serta menjadi sumber penghasilan bagi orang lain. Namun di sisi lain, media sosial penyalahgunaan sosial media dapat menjerumuskan pembacanya sehingga menimpulkan salah pemahaman, bahkan beberapa diantaranya menyebarkan konten mengenai keadaan mental diri untuk meningkatkan pamor.
Konten mengarah pada glorifikasi terhadap mental issue seperti “Gantian yuk, aku punya mental yang sehat; kamu punya mental tidak sehat” telah ditemukan di beberapa sosial media pihak influencer seperti TikTok, hal ini menimbulkan kesan bahwa kondisi kesehatan mental merupakan suatu hal yang ‘keren’ dan bisa dibuat. Pembuatan konten berbau mental issue seringkali menarik perhatian banyak orang sehingga tak jarang bagi influencer untuk sengaja membagikan hal tersebut untuk menaikkan pamor. Perilaku tersebut sudah dapat dikategorikan dengan deception behavior yaitu secara sengaja seorang individu mengelabui orang lain terhadap sesuatu yang tidak benar (Moningka & Selviana, 2020).
Hal ini menyebabkan banyak remaja keliru dalam memandang kondisi mental. LM Psikologi Universitas Gajah Mada (2021) menyatakan bahwa fenomena gloryfing mental illness ditunjukkan melalui perilaku individu yang merasa bangga dengan penyakit mental yang dimiliki.
Salah satu penyanyi muda Indonesia, Nadin Amizah, juga menjadi sasaran komentar negatif warganet akibat unggahan di twitter yang menyinggung isu sensitif seputar kesehatan mental yang dideritanya dan dianggap seolah-olah merasa bangga dengan penyakit mental yang dimiliki. Pada akun twitternya, Nadin menuliskan, “Ribet bgt sekarang ngetweet apa-apa dipermasalahin. MENTAL GUE EMANGG GA STABIL DAN GUE PACAR ORANG. APA MASALAHNYA,”. Beberapa warganet memberikan komentas positif dan mendukung sikap Nadin yang berani untuk menceritakan masalah mental yang dimiliki namun tidak sedikit pula warganet yang tetap memandang negatif. Perlu diingat bahwa sejumlah seleb Indonesia lainnya juga pernah melakukan hal yang sama yaitu menggunakan media sosial untuk mengungkapkan rasa kesal, marah, hingga curhat soal kondisi kesehatan mental mereka.
Akibat ungkapan dan diagnosis seleb yang diunggah di media sosial, seseorang menjadi terdorong untuk mencari sendiri informasi mengenai penyakit atau apa yang dirasakan oleh dirinya dan melakukan diagnosis sendiri mengenai keadaan dirinya (self-diagnosis). Studi yang dilakukan Fox & Duggan (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 35% pengguna internet cenderung melakukan self-diagnose dan tidak mengkonsultasikannya ke pihak professional, sedangkan 18% di antaranya mencoba melakukan konsultasi dengan pihak professional dan memperoleh hasil bahwa kondisinya tidak sesuai dengan self-diagnose yang mereka yakini.
Perilaku self-diagnosis dan membagikan keadaan diri di media sosial dilakukan dengan berbagai tujuan. Ada yang melakukan untuk mencari perhatian, mendapatkan simpati dari orang lain mengenai keadaannya, menambah jumlah follower yang kemudian bisa menghasilkan uang pula. Seperti beberapa diantaranya menyebarkan atau menceritakan diagnosis kesehatan mental untuk memperoleh viewers yang banyak sehingga orang-orang tersebut termakan hoax. Saat ini pengguna sosial media menerima informasi yang terlalu banyak sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar dan hoax karena media sosial selalu dipandang sebagai sumber informasi yang selalu dapat dipercaya apabila informasi tersebut sesuai dengan keyakinan dan pemahaman yang dimilikinya (Moningka & Maulida, 2019).
Rola Jayadel, seorang professor dari University of Balamand mengungkapkan bahwa budaya penggunaan sosial media untuk membicarakan kesehatan mental sangat menyedihkan dan meremehkan penyakit serius yang seharusnya tidak sembarangan dianggap sebagai suatu hal yang ‘keren’ ataupun ‘spesial’.
Orang bisa saja membagikan konten untuk mendapatkan follower dan perhatian, kenyataaanya bisa saja apa yang dialaminya hanya rekayasa, tetapi efek dari video tersebut bisa menimbulkan kecemasan dan juga salah kaprah bagi orang lain. Mari kita gunakan media sosial dengan bijak untuk mengedukasi dan menyebarkan hal positif!
REFERENSI:
Fox, S., & Duggan, M. (2013). Health Online 2013. Pew Research Centre. https://www.pewresearch.org/internet/2013/01/15/health-online-2013/
Glorifying Mental Illness: Perihal Estetik atau Masalah Pelik? (2021). Lembaga Mahasiswa Psikologi Universitas Gajah Mada. https://lm.psikologi.ugm.ac.id/2021/06/glorifying-mental-illness-perihal-estetik-atau-masalah-pelik/
Joho, J. (2019). How being sad, depressed, and anxious online became trendy. Mashable. https://mashable.com/article/anxiety-depression-social-media-sad-online
Moningka, C., & Maulida, B. (2019). Hoax. Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/375-hoax
Moningka, C., & Selviana, M. (2020). Pengembangan Skala Deception Behavior in Social Media. Jurnal Psikologi Ulayat, 8, 110–122. https://doi.org/10.24854/jpu143