ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 15 Agustus 2022

Perempuan Pejuang Pacaran Jarak Jauh, Apakah Sudah Merasakan Cinta?

 

Oleh:

Adinda Mutia Hakim dan Nanda Rossalia

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

 

Hubungan Jarak Jauh Kini Meningkat Pesat 

Individu yang berada pada rentang usia 20-35 tahun memasuki masa-masa untuk mulai mengembangkan kehidupan yang mandiri secara ekonomi, mengembangkan karir dan menjalin relasi dengan seseorang. Relasi tersebut bisa dalam bentuk hubungan pacaran atau menikah, yang kemudian memenuhi kebutuhan akan love pada seorang individu. Hal ini sesuai dengan teori psikososial yang dipaparkan oleh Erikson, dimana pada masa dewasa awal, individu menghadapi beberapa tugas perkembangan, salah satunya yakni membangun hubungan yang intim dengan lawan jenisnya (Papalia, Olds, Feedman dalam Liana & Herdiyanto, 2017). Pada masa dewasa awal, tugas perkembangan yang perlu dipenuhi adalah intimacy vs isolation. Individu berusaha memperoleh intimasi yang dapat diwujudkan melalui komitmen terhadap suatu hubungan dengan orang lain, baik dalam hubungan pacaran atau menikah (Agusdwitanti, Tambunan & Retnaningsih, 2015). Namun, ambisi seorang individu untuk mengembangkan karir atau pendidikan dengan migrasi ke kota atau negara lain sudah tidak jarang ditemukan. Hal ini kemudian mendorong meningkatnya adanya fenomena berpacaran jarak jauh atau biasa disebut dengan Long Distance Relationship (LDR). 

 

LDR didefinisikan sebagai pasangan yang tidak terletak di wilayah geografis yang sama, sehingga secara fisik tidak dapat mengunjungi satu sama lain (Peterson, 2014). Mereka juga harus menyesuaikan tanggung jawab baru, budaya setempat dan beradaptasi dengan rutinitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Adanya perbedaan geografis ini juga mengakibatkan adanya perbedaan lingkungan, waktu dan interaksi sosial (Amelia, 2020). Hubungan ini rawan akan konflik, dapat memicu stress secara biologis maupun psikologis. Hal ini dikarenakan karena adanya ketidakpastian tentang masa depan dengan pasangannya, kurangnya komunikasi, merasa jauh, kepuasan dalam berpacaran yg lebih rendah, dan sebagainya. Konflik tersebut membuat khususnya perempuan lebih memikirkan hubungan ini secara mendalam, lebih dependen dalam hubungan, lebih menyalahkan faktor internal saat terjadi konflik sehingga lebih sulit untuk menyembunyikan perasaan negatif.

 

Apakah itu love?

Love adalah hal yang penting karena merupakan salah satu emosi yang paling intens dan suatu keinginan dari seluruh emosi manusia. Love akan merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan (Christie & Maria, 2020). Teori love atau cinta yang dipaparkan oleh Sternberg menyatakan bahwa cinta dapat dipahami dalam tiga komponen yang memudian membentuk simpul. Ketiga komponen tersebut dapat berbeda tergantung pada situasi yang terjadi. Ketiga komponen tersebut meliputi intimacy atau keintiman, passion atau gairah dan commitment atau komitmen. Komponen pertama yaitu intimacy atau keintiman yang merupakan perasaan akan kedekatan, keterhubungan serta keterikatan dalam menjalan hubungan cinta. Keintiman ini juga mencakup perasaan dan kondisi emosional yang kemudian menimbulkan kehangatan dalam hubungan (Sternberg, 1986). Komponen kedua yaitu passion atau gairah mengarah pada asmara, ketertarikan fisik dan gairah seksual dalam menjalani hubungan cinta. Gairah yang terbentuk mencakup motivasi dan dorongan gairah lainnya yang mengarah pada pengalaman dalam menjalani hubungan. Komponen yang ketiga yaitu commitment atau komitmen yang mengarah pada elemen kognitif dalam pengambilan keputusan untuk suatu hubungan cinta. Komitmen juga mencakup keputusan seseorang dalam mencintai orang lain, secara jangka pendek dan komitmen dalam mempertahankan hubungan cinta, secara jangka panjang (Sternberg, 1986).

 

 

Love itu sendiri dipengaruhi oleh dua faktor:

1.    Jumlah cinta: Faktor ini berkaitan erat dengan luasnya segitiga cinta yang terbentuk. Semakin besar segitiga yang terbentuk, maka semakin besar jumlah cinta yang dirasakan.

 

 

2.    Keseimbangan cinta: Faktor ini berkaitan erat dengan bentuk segitiga cinta. Perumpamaan terdapat empat segitiga yang masing-masing memiliki bentuk yang berbeda. Masing-masing komponen akan menempati salah satu sudut segitiga yang terbentuk, dan jika terbentuk segitiga sama sisi menunjukkan bahwa ketiga komponen sudah seimbang dalam membentuk cinta

 

 

Seluruh komponen love yang saling berinteraksi satu sama lain dapat menghasilkan 8 kemungkinan bentuk segitiga dari tipe love yang dapat dimiliki oleh individu dengan pasangannya. Tipe yang pertama adalah nonlove, mencirikan individu hanya sekadar berinteraksi dengan pasangan, namun tidak mengambil bagian dari cinta sama sekali. Tipe kedua adalah liking, dimana adanya kedekatan / intimacy tanpa adanya hasrat atau keinginan untuk menjalani kehidupan dengan orang tersebut. Tipe ketiga adalah infatuated love yang merupakan cinta pada pandangan pertama, disebabkan oleh gairah akibat adanya ketertarikan secara fisik pada pasangan. Tipe keempat adalah empty love yang muncul jika individu mengambil keputusan mencintai pasangan, tanpa adanya kedekatan dan gairah. Tipe kelima, romantic love dimana terdapat kepercayaan kepada pasangan, dekat secara emosional, menerima pasangan apa adanya, memiliki ketertarikan secara fisik dengan pasangan tetapi tidak dengan komitmen jangka panjang. Tipe keenam yaitu companionate love, dimana hubungan percintaan yang memiliki kedekatan dengan pasangan, saling berbagi, dan memiliki komitmen untuk jangka panjang. Tipe ketujuh adalah fatuous love yang dicirikan dengan terbentuknya commitment karena adanya passion dan tanpa adanya intimacy dan kedekatan secara emosional. Tipe kedelapan adalah consummate love yang merupakan tipe yang sempurna karena hasil kombinasi ketiga komponen intimacy, passion, dan commitment (Sternberg, 1986).

 

Gimana Cara Merasakannya?

Dalam hubungan LDR, individu merasakan kebahagiaan dengan pasangannya yang artinya senang menghabiskan waktu bersama. Maka dari itu, pasangan yang menjalani hubungan LDR tidak dapat bertemu secara fisik sehingga sulit untuk menghabiskan waktu bersama dan hanya dapat melakukan kontak melalui bantuan teknologi. Meskipun begitu, individu tetap harus menyempatkan waktu untuk bertemu dan mengatur waktu bersama pasangan. Individu juga tetap menghargai dan menghormati pasangannya dengan sebisa mungkin tetap memberikan kabar mengenai aktivitas sehari-hari. Selain itu, bentuk bantuan atau usaha sekecil apapun juga merupakan upaya yang dapat dilakukan. Bantuan yang diberikan sangat beragam, sesuai dengan kebutuhan dan preferensi, mulai dari bantuan secara finansial, jasa dan emosional. Bantuan jasa seperti transfer, saling mengirimkan barang atau makanan pada waktu-waktu tertentu dan bantuan dalam menyelesaikan tugas perkuliahan. Selanjutnya, bantuan secara emosional dapat dilihat dari kehadiran pasangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari melalui chat ataupun telepon, sikap pengertian dan perhatian yang ditunjukkan hingga support dan motivasi secara jarak jauh. Seluruh aspek dalam menjalani hubungan jarak jauh penting untuk dievaluasi sehingga dapat menjadi dorongan dan motivasi untuk mengkomunikasikannya secara terbuka dengan pasangan.

 

 

Referensi:

 

Agusdwitanti, H., Tambunan, S. M., & Retnaningsih. (2015). Kelekatan dan intimasi pada dewasa awal. Jurnal Psikologi, 8(1), 18-24.

Amelia, F. R. (2020). Long-distance romantic relationships among international students: “My first qualitative research”. Studies in Philosophy of Science and Education, 1(2), 74-86.

Christie, F., & Maria, C. (2020). Tipe love pada individu yang berpacaran long distance relationship dan proximal relationship di banding. Humanitas, 4(3), 205-224. 

Liana, J. A., & Herdiyanto, Y. K. (2017). Hubungan antara intensitas komunikasi dengan komitmen pada pasangan yang menjalani hubungan berpacaran. Jurnal Psikologi Udayama, 4(1), 84-91.

Peterson, K. K. (2014). Distance makes the heart grow fonder: Do long-distance relationships have an effect on levels of intimacy in romantic relationships? Global Tides, 8(8), 1-11. 

Sternberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review, 93(2), 119-135.