ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 13 Juli 2022
Me Vs Impostor:
Perang Melawan Impostor Syndrome Dari Rumah
Oleh:
Rachel Aksana Vedherova Siagian & Wiwit Puspitasari Dewi
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
May (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa manusia yang sehat adalah mereka yang merasa bahwa hidupnya terhubung dengan dunia yang termanifestasikan melalui relasinya dengan lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Jika hal tersebut tidak mereka alami, maka mereka akan merasakan keterasingan, kehampaan, dan keputusasaan yang akan membawa mereka kepada psikopatologi. Dalam hal ini, keberhargaan diri (self-worth) menjadi salah satu indikator yang menunjukan seberapa kita merasa telah memenuhi kebutuhan kita untuk terhubung dengan dunia. Keberhargaan diri ditandai dengan adanya penerimaan diri, di mana seseorang akan mempersepsikan keberhargaan dirinya melalui pencapaian yang ia raih (Covington, 1984). Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa keberhargaan diri akan membuat individu berusaha untuk mempertahankan bahkan meningkatkan pencapaiannya. Sehingga tidak heran, jika kemudian Covington (1984) mengatakan bahwa, “Self-worth theory stresses ability perceptions as a primary activator of achievement behavior”. Saat individu memiliki keberhargaan diri yang baik, maka ia akan menjalani hidupnya dengan optimal.
Namun ternyata ada individu-individu yang sulit menemukan keberhargaan dirinya dan sulit dalam memiliki perasaan sukses walaupun mereka sudah berhasil mencapai sesuatu. Mereka memilki keyakinan bahwa mereka tidak pintar dan merasa sudah membohongi orang-orang di sekitarnya yang berpikir demikian, dan hal ini dikenal dengan istilah impostor phenomenon/syndrome (Clance & Imes, 1978). Individu dengan sindrom ini merasa bahwa dirinya tidak berharga sekalipun ia memiliki pencapaian, karena ia merasa bahwa pencapaian yang ia raih ialah semata-mata karena keberuntungan atau kebetulan saja (Clance & Imes, 1978; Ika, 2020). Kalimat-kalimat yang di bawah ini dapat menggambarkan bagaimana seseorang dengan impostor syndrome saat berespon menghadapi kegagalan ataupun pencapaian yang mereka alami.
“Saya tidak boleh gagal, karena nanti orang-orang di sekitar saya tahu kalau saya tidak sepintar itu”
“Saya tidak tahu kenapa saya bisa masuk ke tim debat, sepertinya itu hanya keberuntungan saya saja”
“Kok saya yang bisa terpilih, ya? Sepertinya yang memilih keliru”
Individu dengan impostor syndrome memang tidak masuk ke dalam diagnosis gangguan kesehatan mental manapun (Ika, 2020). Namun terdapat gejala-gejala yang umum dialami oleh mereka yang mengalaminya, seperti gangguan kecemasan umum, berkurangnya keyakinan diri, depresi, dan frustrasi akibat perasaan tidak mampu dalam memenuhi standar yang dimiliki diri sendiri (Clance & Imes, 1978; Ika, 2020). Bahkan ditemukan bahwa 70% manusia mengalami setidaknya satu episode dari sindrom ini dalam kehidupannya (Gravois dalam Sakulku & Alexander, 2011). Sehingga, menjadi penting bagi setiap individu untuk mengetahui cara mengatasi hal ini dengan memiliki keberhargaan diri yang baik, bahkan meningkatkan keberhargaan diri tersebut yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Perangi impostor syndrom
Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memerangi impostor syndrom:
1. Pengasuhan orang tua
Gaya pengasuhan orang tua turut mempengaruhi bagaimana keberhargaan diri individu. Untuk memiliki keberhargaan diri yang baik, penting bagi orangtua untuk menerapkan gaya pengasuhan yang baik pula. Clece & Imes (1978) menemukan bahwa terdapat beberapa karakteristik pengasuhan yang terkait dengan perkembangan impostor syndrome, di antaranya adalah perbandingan antarsaudara di dalam keluarga dan kurangnya positive reinforcement. Hal ini akhirnya membuat anak cenderung merasa tidak cukup baik.
Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah memberikan penilaian yang objektif mengenai kemampuan masing-masing anak. Dalam hal ini termasuk memberikan penilaian yang realistis mengenai apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh anak (Escalante, 2019). Lebih lanjut lagi Escalante menyarankan pentingnya untuk dapat mengapresiasi apapun usaha yang sudah dilakukan anak dan bukan fokus ke hasil yang didapatkan oleh mereka.
2. Positive Regard
Hal selanjutnya yang dapat mempengaruhi keberhargaan diri individu adalah positive regard. Positive regards dapat berbentuk penerimaan, kasih sayang, dan rasa hormat yang didapatkan dari orang yang dianggap penting (Plotnik & Kouyoumdjian, 2011). Positive regards dibedakan menjadi 2, yaitu:
● Conditional positive regard. Positive regards yang didapatkan jika memenuhi ekspektasi tertentu.
● Unconditional positive regard. Positive regards yang didapatkan karena pada dasarnya manusia adalah berharga sebagai dirinya sendiri.
Positive regards dapat meningkatkan keberhargaan diri seseorang secara signifikan (Plotnik & Kouyoumdjian, 2011). Sebagai contoh, anak yang mendapatkan pujian dari orang tuanya ketika mendapatkan juara kelas akan merasa bahwa pencapaiannya merupakan hal yang membanggakan, yang kemudian berkontribusi kepada peningkatan keberhargaan dirinya. Namun, jika mengandalkan conditional positive regard terus menerus juga bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Individu juga membutuhkan unconditional positive regard untuk membuat dirinya tetap merasa berharga ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Untuk itu, terkait hal positive regard ini, diharapkan anggota dalam rumah dapat saling memberikan positive regards dan menyeimbangkan antara conditional positive regards dan unconditional positive regards.
3. Saying become believing
Manusia memiliki kecenderungan untuk mempercayai apa yang ia katakan (Myers & Twenge, 2013), sama halnya seperti pepatah ucapan adalah doa. Karena itu, individu seharusnya tidak memperkatakan hal-hal buruk yang akan membuat keberhargaan dirinya merosot. Hal tersebut dijelaskan Myers & Twenge (2013) dalam bukunya yang membahas bagaimana seseorang mempercayai perkataannya yang pada dasarnya membuatnya merasa buruk, walau tanpa paksaan sekalipun.
Berkaitan dengan hal tersebut, akan menjadi lebih baik jika individu dapat memulai dengan mengatakan kepada diri sendiri (self-talk) bahwa dirinya berharga atau bisa juga dengan memberikan positive regards atau apresiasi kepada diri sendiri secara verbal atas pencapaian-pencapaian kecil yang telah dilakukan. Kalimat-kalimat seperti: “Saya puas dengan usaha yang saya lakukan”, “Saya menyukai semangat yang saya miliki”, “Saya bangga dengan yang saya sudah lakukan” dapat jadi hal yang disampaikan ke diri sendiri.
Referensi:
Clance, P. R., & Imes, S. (1978). The Imposter Phenomenon in High Achieving Women:Dynamics and Therapeutic Intervention. Psychotherapy Theory, Research and Practice, 15(3), 1-8. https://www.paulineroseclance.com/pdf/ip_high_achieving_women.pdf
Covington, M. V. (1984). The Self-Worth Theory of Achievement Motivation: Findings and Implications. The Elementary School Journal, 85(1), 5-20. https://www.jstor.org/stable/1001615
Cuncic, A. (2021, Februari 26). What Is Imposter syndrome? Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/imposter-syndrome-and-social-anxiety-disorder-4156469
Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (7th ed.). New York: McGraw-Hill.
Ika. (2020, Oktober 18). Psikolog UGM Paparkan Fakta Impostor syndrome. UNIVERSITAS GADJAH MADA. https://ugm.ac.id/id/berita/20226-psikolog-ugm-paparkan-fakta-impostor-syndrome
Myers, D. G., & Twenge, J. M. (2013). Social Psychology (11th ed.). New York: McGraw-Hill.
Plotnik, R., & Kouyoumdjian, H. (2011). Introduction to Psychology (9th ed.). Wadsworth.
Sakulku, J., & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, 6(1), 73-92. Retrieved February 26, 2022, from https://www.sciencetheearth.com/uploads/2/4/6/5/24658156/2011_sakulku_the_impostor_phenomenon.pdf
Santrock, J. W. (2017). Educational Psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.