ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 12 Juni 2022
Peran Psikolog Forensik Terhadap Investigasi Kasus Kekerasan Seksual
Oleh:
Hernanda Rifki & Putri Pusvitasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Kejahatan seksual (sexual offence) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut dengan tubuh, kesehatan, serta nyawa manusia. Dalam hal ini psikolog forensik sangat berkaitan erat dengan kasus kekerasan seksual yang meliputi penggunaan atau penglihatan secara komersial dalam kegiatan seksual, bujukan, ajakan, dan paksaan. Konteks kekerasan seksual ini tidak hanya berbentuk fisik, namun dapat berupa pelecehan melalui internet atau media sosial. Dania (2020) menjelaskan bahwa kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan hak asasi setiap orang, sehingga sudah menjadi suatu hal yang memerlukan perhatian yang serius serta memerlukan tindakan preventif dan penanganan yang komprehensif untuk melakukan intervensi. Saat ini kekerasan seksual terhadap anak sangat darurat sebab anak sangat tergantung serta tidak memiliki kemampuan (kemampuan terbatas) untuk melindungi dirinya sendiri anak anak hanya memiliki pengalaman sedikit sehingga sangat mudah untuk di eksploitasi, ditipu, dan juga dipaksa oleh orang-orang yang sudah dewasa.
Menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mencatatkan bahwa terdapat jumlah kasus pelanggaran hak anak selama 2021 mencapai 5.953 kasus, di mana terdapat 859 kasus kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut kekerasan seksual anak memiliki persentase sekitar 14,4% dari semua kasus yang ada. Selain itu terdapat juga korban pornografi sebesar 345 kasus. Dalam kekerasan seksual ini aduan tertinggi terdapat pada kasus pencabulan sebanyak 536 kasus atau setara dengan 62% serta kasus pemerkosaan/persetubuhan mencapai 33%. Ada juga kasus yang miris di mana terdapat korban pencabulan sesama jenis sekitar 29 kasus atau setara dengan 3%. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang meliputi pengaruh negatif teknologi dan informasi, lemahnya pola asuh dari keluarga, banyaknya pengangguran yang ada di lingkungan, serta lingkungan yang tidak ramah dengan anak. Kasus tertinggi terjadi di lima provinsi, antara lain Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara.
Dalam Wismanto (2021) menjelaskan bahwa penanganan kekerasan seksual ini melibatkan psikolog forensik yang dibantu oleh rekan-rekan polri untuk penyelidikan dan juga akan dibantu juga oleh ilmu kedokteran forensik untuk menyelidiki kebenaran tentang kasus kekerasan seksual tersebut. Psikolog forensik dapat menemukan pemecahan dan mendapati sumber dari kasus kekerasan seksual tersebut dengan berbagai macam intervensi. Seiringan dengan melakukan intervensi, psikolog forensik juga melakukan investigasi yang melibatkan pelaku dan korban. Fauzi (2019) mengatakan bahwa peran psikolog forensik dalam mengatasi kekerasan seksual perlu dilakukan untuk melakukan pencegahan dengan cara memberikan efek jera terhadap pelaku serta melindungi korban. Psikolog forensik juga dapat berperan penting terhadap korban untuk mengatasi dan memulihkan traumanya serta mengetahui hasil visum saat tersangka tidak mengakui perbuatan yang telah dilakukan. Adapun tahapan-tahapan dalam melaksanakan investigasi terhadap kasus kekerasan seksual juga sama seperti melakukan investigasi terhadap pelaku kejahatan lainnya. Diawali dengan komunikasi santai namun mendalam terhadap pelaku dan korban. Dimana psikolog dapat memberikan pandangan terhadap pelaku, mendengarkan motif pelaku, mengatasi hambatan-hambatan yang ada serta dapat memahami komunikasi beserta dengan pemecahan masalahnya secara konstruktif.
Kedua, setelah memahami permasalahan psikolog bisa mengidentifikasi masalah secara menyeluruh secara efektif. Ketiga, psikolog juga bisa memahami korban dan pelaku. Di mana memahami karakteristik sebab dari karakteristik ini dapat memberikan gambaran luas terkait kekuatan kebenaran yang terjadi pada peristiwa yang sebenarnya. Keempat, psikolog forensik dapat melakukan hypnosis untuk membuat seseorang dalam investigasi menjadi fokus dan berkonsentrasi penuh sehingga dapat meningkatkan kemampuan menerima sugesti yang diberikan (dalam Indonesia sendiri penerapannya masih sedikit). Kelima, psikolog forensik dapat melakukan wawancara kognitif yang bertujuan untuk meningkatkan proses retrieval yang berguna untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas informasi dengan menjadikan saksi atau korban merasa lebih rileks dan kooperatif. Wawancara ini memiliki beberapa tahap antara lain, tahap menjalin rapport, tahap menjelaskan tujuan wawancara, tahap report everything, tahap melakukan probing, tahapan recall, tahap merangkum, dan diakhiri oleh tahap penutupan. Dalam beberapa tahap ini berguna untuk menelusuri kapasitas kognitif dari saksi maupun korban yang diwawancara sehingga akan mendapatkan data yang valid serta terhindar dari bias. Teknik wawancara kognitif memudahkan saksi atau korban untuk memberikan keterangan serta meminimalisir kecemasan terhadap pengaruh mengingat peristiwa yang dialaminya tadi. Keenam, peran yang terakhur dari psikolog forensic dalam investigasi yaitu membaca kriminal profiling, dimana kemampuan ini harus dimiliki oleh psikolog sebab kemampuan ini berguna untuk mengidentifikasi secara detail baik dari ciri kepribadian, kecenderungan pelaku, lokasi geografis, serta deskripsi demografis ataupun biografis dari pelaku berdasarkan karakteristik TKP.
Sopyani (2021) mengatakan bahwa peran psikolog forensik di Indonesia dalam penegakan hukum sudah dilakukan sejak lahirnya Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Psikolog forensik dibutuhkan untuk mengungkap kasus kriminal masyarakat khususnya kasus-kasus yang membutuhkan identifikasi psikologis bagi pelaku maupun korban. Psikolog forensik dapat memberikan suatu gambaran kepribadian pelaku dan korban sehingga aparat hukum dapat menindaklanjuti. Namun, peran psikolog forensik ini masih terbatas ruang geraknya sehingga tidak memiliki wewenang untuk andil dalam suatu kasus pidana apabila tidak dimintai pendapatnya oleh aparat hukum yang berwenang.
Jadi kesimpulan yang dapat diambil dari peran psikolog forensik terhadap investigasi pada kekerasan seksual adalah dengan melakukan Analisa peristiwa yang terjadi dengan mengidentifikasi segala peristiwa secara mendasar. Tidak hanya peristiwa saja yang dianalisis dan diidentifikasi tetapi semua yang berhubungan dengan peristiwa kekerasan seksual akan diidentifikasi secara menyeluruh sampai menemukan titik akhir atau jalan keluar dari peristiwa yang terjadi. Dalam Analisa tersebut juga dibutuhkan bantuan ilmu kedokteran forensik dan polri untuk bekerjasama memecahkan masalah. Namun, psikolog forensik juga memiliki keterbatasan dalam ruang gerak ketika tidak diberi wewenang oleh aparat penegak hukum.
Referensi:
Dania, I. A. (2020). Kekerasan Seksual Pada Anak. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 19(1), 46-52.
Fauzi, R. (2019). Pelaksanaan Penanganan Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Pencabulan Terhadap Anak di Polsek Empat Angkat Candung. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 5(1), 173-184.
Sopyani, F.M. & Triana, N. E. (2021). Peran Psikologi Forensik Dalam Hukum Indonesia. Jurnal Psikologi Forensik Indonesia. 1 (1). 46-49.
Wismanto, Y. B., Natasha, I. D. P., & L. Aptik E. (2021). Mendalami Aspek Psikologis Pelaku Kejahatan. Jurnal Psikologi Forensik Indonesia. 1 (1), 1-8.